TEMPO.COM, London
- Kapal selam riset menemukan spesies baru yang hidup di lubang
hidrotermal Samudera Hindia. "Kami menemukan jenis baru kepiting Yeti,"
kata Dr Jon Copley, pakar biologi kelautan dari Universitas Southampton,
Inggris.
Selain kepiting, ilmuwan Inggris menemukan teripang,
siput dan satwa lainnya pada perairan yang suhunya seperti air mendidih.
Wilayah ini dinamakan Dragon Vent yang terletak di barat daya Samudera
Hindia.
Kepiting Yeti sebelumnya ditemukan di area serupa di
sebelah timur Samudera Pasifik dan sejauh ini ada dua spesies yang sudah
diidentifikasi.
Namun kepiting Yeti yang ditemukan di
Samudera Hindia agak berbeda. Kepiting berwarna putih dan berambut
menyerupai makhluk legendaris Yeti di kutub utara ini memiliki lengan
capit yang lebih panjang. "Ini adalah kali pertama kepiting Yeti
terlihat di Samudera Hindia."
Teripang sebelumnya hanya
dijumpai di laut dalam di timur Samudra Pasifik. Menurut Copley, ini
kali pertama teripang dijumpai di tempat ini.
Lubang
hidrotermal adalah semacam mata air super panas yang berada tepat di
atas gunung api bawah laut. Lubang-lubang ini meletus dari dasar laut
dan biasanya hanya ditemukan di kedalaman beberapa mil di bawah
permukaan laut.
Air bersuhu panas dan kaya kandungan mineral
menyebabkan munculnya cerobong berbatu berukuran besar, yang mendukung
berbagai bentuk kehidupan di laut dalam.
Penelitian Copley
merupakan bagian dari sebuah ekspedisi besar untuk mempelajari gunung
bawah laut menggunakan kapal RRS James Cook, yang berlayar dari Cape
Town pada tanggal 7 November dan kembali ke Afrika Selatan pada 21
Desember.
Eksplorasi Dragon Vent dilakukan di tengah
perjalanan, di sebuah lokasi ditemukannya semburan air panas secara
intensif selama tiga hari berturutan.
Tim penelitian Copley
mengambil ratusan sampel dari 17 spesies berbeda. Seluruh spesimen telah
dikirim kembali ke laboratoriumnya di Inggris untuk diteliti morfologi
dan genetiknya.
"Kemungkinannya adalah bahwa akan ada beberapa
spesies baru," kata Copley. "Kita belum tahu pasti sampai kita membawa
mereka kembali ke laboratorium dan menganalisisnya."
Penelitian
Copley diawali pada sebuah ekspedisi Cina tahun 2007 yang mengarah
pertama kali ke lubang hidrotermal di punggungan barat daya Samudera
Hindia. Daerah ini merupakan deretan gunung api bawah laut yang
menyambung dengan punggungan Atlantik tengah hingga ke Hindia tengah.
Lokasi tersebut merupakan punggungan gunung berapi yang kurang aktif,
sehingga para ilmuwan berpikir lubang hidrotermal yang dijumpai
seharusnya lebih sedikit dan lebih tersebar. "Karena itu menimbulkan
pertanyaan apakah kehidupan di sana berbeda secara signifikan," kata
Copley.
Ia mengatakan ciri khas kehidupan di sekitar lubang
hidrotermal adalah berpacu melawan waktu. Awal tahun ini, Cina
memperoleh izin dari Otoritas Dasar Laut Internasional PBB untuk
melakukan eksplorasi pertambangan di lubang-lubang hidrotermal di laut
dalam sepanjang punggungan barat daya Samudra Hindia.
Lubang-lubang hidrotermal ini sangat kaya tembaga, emas, seng, dan
uranium. "Tapi kita tidak pernah tahu apa yang sebenarnya tinggal di
sana," ujar Copley.
Copley mengatakan, dalam kajian evolusi,
lubang hidrotermal ibarat kepulauan di dasar laut. Seperti halnya para
naturalis abad ke-19 yang pergi ke Galapagos dan pulau-pulau lain untuk
menemukan spesies baru yang berbeda dengan yang ada di tempat lain, lalu
menggunakannya untuk memahami pola persebaran dan evolusi.
Menurut Copley, ekspedisi ini perlu dilakukan karena eksploitasi laut
dalam selalu menyalip eksplorasinya. Ia mengumpamakan, selama ini
manusia selalu memancing di perairan yang semakin lama semakin dalam.
Begitu pula keberadaan minyak dan gas, yang semakin bergerak ke
perairan yang lebih dalam. "Dan sekarang pertambangan mulai mengambil
tempat di perairan dalam," ujarnya.
Karena itu, Copley
mengatakan, jika ingin mengambil keputusan yang bertanggung jawab dalam
pengelolaan sumber daya alam bawah laut, manusia perlu memahami
bagaimana mahkluk hidup menyebar dan berevolusi di laut dalam