Ku akui tidak banyaknya waktu yang dihabiskan
dirumah membuatku sedikit lalai akan kondisi di sekitarku. Aktivitas yang kerap
disebut sebagai kesibukan seakan membuat lupa seharusnya aku bagaimana. Ikatan
emosional yang sebenarnya sangat kuat hanya sebatas dirasa saja kemudian
terlewat. Ini kesalahanku. Kemudian jika aku ingin memperbaikinya tidak salah
bukan? Libur semester empat yang kuhabiskan dirumah dengan benar-benar membuka mata adalah awalnya. Memiliki seorang adik
perempuan kelas dua sekolah dasar dengan usia yang relatf muda (6.5 tahun)
membuat sudah biasa ibuku menyiapakan segala keperluannya. Belum lagi, adikku yang
kelas lima kadang harus masih ibuku yang turun tangan mengurusnya. Ditambah
pula ayahku dirumah yang membantunya. Namun akhir-akhir ini adik kecilku itu
sudah bisa, menyiapkan segala keperluannya walaupun tidak sendirian semuanya.
Kemudian aku? Pekerjaan rumah biasa saja yang dikerjakan sedang ketika pagi-pagi
sekali lebih ke mengamati. Maklum saja jarang dirumah membuatku tak tau banyak
tempat barang-barang adik-adikku itu. Jadilah mereka tak bertanya padaku. Pun
ayahku. Dikit-dikit ibu. Dikit-dikit ibu. Semuanya ibu.
Hari
ini, sudah dua hari ini, ibuku pergi ke sawah pagi-pagi sekali. Jam 7 pagi
bersama ayah sudah siap untuk pergi. Sedang adik kecilku sekolah pukul 10 pagi.
Adalah tugasku sampai ke waktu itu untuk menggantikan ibuku, menurutku. Ibu tidak
memintaku, tapi sudah seharusnya bukan? Sudah cukup waktu yang kemarin
mengamati. Sekarang waktunya eksekusi. Dalam prosesmya, aku melihat ibuku
dengan mudah menjalani perannya. Apalagi benar-benar melakukannya dengan senang
hati dan tanpa keluh kesah. Satu per satu persoalan menjadi jelas. Menyiapkan
ini dan menyiapakan itu dengan ikhlas. Semua ibu begitu, bukan? Begitu pula
seharusnya aku, kan?
Melakukan
pekerjaan rumah bersama adik ditambah mandi bersama, menyiapkan alat-alat untuk
sekolah, belajar berhitung dan membaca serta mengantarkan didepan pintu untuk
berangkat sekolah sampai menyambut kembali didepan pintu ketika pulang adalah
luar biasa. It touches me. Sepanjang waktu mengajarkan adikku cara berhitung
dan membaca, benar-benar terasa, this is how I feel my dream. Benar-benar mengingatkanku
tentang cita-citaku. Seorang guru. Tepatnya guru bahasa inggris, di desaku. Ketidaktahuan
dan ketidakbisaanku pada pelajaran bahasa inggris saat pertama kali kelas lima kepindahanku
ke sekolahku yang baru dari desaku memotivasiku. Semua orang belajar bahasa inggris
sedari kelas satu (He, She, It, I, We, They You). Pun dari taman kanak-kanak
jikalau kulihat adikku. Aku? I thank God for everyting I have now.
Allhamdulillah. Setidaknya sedikit demi sedikit nanti aku bisa mengajarkannya
pada anak-anakku. Pun adik-adikku jika mereka membutuhkanku. Tidak hanya bahasa inggris saja. Semua yang aku
bisa, tanyakan saja. Memang dalam mengajarkannya tidaklah mudah. Kuakui saja,
kemarin belajar berhitung dan membaca benar-benar membutuhkan kesabaran ekstra.
Mungkin jika anak sma atau mahasiswa lebih mudah. Tapi ini siswa kelas dua. Menurutku
sama saja, tanggung jawabnya bahwa mereka harus bisa. Wah, amazing sekali
rasanya. Berkali-kali rasanya terbawa suasana, kuingatkan diriku, lagi
kuingatkan diriku dengan mengajak adikku tertawa, agar tak bosan dirasanya. Sesekali
kugambarkan angka sampai bunga untuk mengilustrasikannya
agar lebih mudah dipahaminya. Cara belajar seseorang memang tidaklah sama.
Gaya belajar ada yang
auditorial, visual, kinestetik, global dan analitik. Auditorial dimana
berkaitan dengan pendengaran. Yaitu proses proses belajar menghafal, membaca maupun
matematika dalam mengerjakan soal cerita. Artinya pelajaran akan lebih mudah
diserap apabila mendengarkan. Visual yaitu pelajaran akan lebih mudah diingat
apabila melihat (misalnya proses belajar seperti matematika (Geometri), bahasa
mandarin dan arab, atau yang berkaitan dengan simbol-simbol atau letak simbol).
Kinestetik bearti belajar melalui praktek langsung atau manipulasi (trik,
peraga). Gaya belajar global yaitu cenderung melihat segala sesuatu secara
menyeluruh, dengan gambaran yang besar sedangkan gaya belajar analitik berarti memandang
sesuatu cenderung lebih terperinci, spesifik dan teratur (Porter et al, 2002).
Gaya belajar yang tidak
sama tersebut membuktikan bahwa kecerdasan seseorang tidaklah sama pula. Begitu
pula proses penyerapannya. Tergantung kegigihan dan kerajinan seseorang, bukan?
Oleh karena itu, kenali keluarga kita. Baik adik maupun anak-anak kita. Karena disekolah
ada banyak siswa. Siapa lagi yang akan mengajarkannya, bukankah kita?
Adikku salah satunya,
menurutku adikku lebih cenderung ke gaya belajar Kinestetik dimana apa yang
dilihat dan dibacanya akan mudah diingat apabila dituliskan dan dipraktikan
dengan bahan-bahan misalkan perumpamaan. Tetapi menurutku, apa yang paling
nyaman maka itu adalah gaya belajar kita. Ciptakan gaya belajar kita sendiri.
Seperti firman Allah swt. berikut ini:
فَبِأَيِّ
آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu
dustakan (QS Ar-Rahmaan: 13)
Menjadi
guru memang cita-citaku dahulu, kalau tidak untuk orang banyak, sekarang untuk
diri sendiri dahulu dan orang-orang disekitarku, juga tentunya adikku. Insha allah. Jika Allah
mengizinkannya di masa depanku. Selain itu, waktu yang masih terus berjalan sampai detik ini, masih
dapat kunikmati bahkan sekalipun untuk belajar dan memperbaiki diri. Sungguh, nikmat Allah
swt. sangatlah banyak. Mempunyai cita-cita juga nikmat-Nya. Allhamdulillah. Whoever will be with me in the future pls help and guide me for doing my best.
Sumber gaya belajar: Click here!
Sumber gaya belajar: Click here!