Pages

Pages - Menu

Pages - Menu

Selasa, 17 September 2013

Sejuk Mentari

“Kamu suka dia ya?” tanyanya padaku.
“Tidak, tidak.” jawabku singkat.
“Kamu suka dia ya?” tanyanya lagi kepadaku. Ekspresi wajahku langsung berubah tatkala dia menanyakan hal itu kepadaku. Menanyakan kebenaran perasaanku itu. Tidak tahu kenapa, jantung ini rasanya berdegup lebih cepat dan lidah ini terasa begitu berat untuk mengatakan tidak ketiga kalinya. Hatiku memberontak. Dia ingin aku mengatakan iya tetapi di dalam pikiran ini hanya ada kata tidak.
“Hentikan percakapan ini. Aku muak. Aku lelah. Aku…aaa…” hingga akhirnya kalimat itulah yang terlontar dari mulutku. Aku langsung berlari tanpa menyelesaikannya. Berlari sejauh mungkin dan berlari sekuat tenaga sebagaimana aku menahan perasaan ini. Sebagaimana aku tidak mempedulikan rasa sakit yang mendera kakiku. Tidak memperdulikan juga air mata air mata yang terus mengalir deras melalui kelopak mata ini. Yang kupikirkan saat ini hanya bagaimana cara menghilangkan dengan cepat rasa ini atau mempertahankannya untuk waktu yang lama. Waktu yang tidak bisa aku perkirakan.
Setelah berlari cukup jauh itu, rasa lelah mulai kurasakan. Aku menghentikan langkahku tepat di bawah pohon. Kulihat tempat duduk disana. Perlahan aku mengangkat kaki mendekati tempat itu. Tidak kutolehkan sedikit pun kepala kebelakang. Terus berjalan maju semakin dekat dan semakin mendekatinya. Percaya bahwa aku akan segera menemukan ketenangan disana. Melupakan sejenak kegelisahan.
Kupandangi pepohonan yang berada di sekelilingnya. Memang benar aku merasakan ketenangan disana. Namun kembali aku teringat akan rasa itu. Gelombang kesedihan bercampur dengan gelombang kegilaan menenggelamkanku ke dasar laut kepedihan yang mendalam. Bahkan bukan hanya bisa dikatakan gelombang tetapi lebih ke ibaratkan tsunami, mengguncang jiwa dan memporak-porandakan hati ini. Terus dan semakin dalam aku terbuai oleh semua rasa itu. Mungkinkah ini salah?
“Aaaa…. Kalian?” aku langsung berteriak dan kembali berlari ketika mereka datang. Aku ingin pulang.  “Kenapa mereka disana? Kenapa aku bisa bertemu dengan mereka?” berbagai macam pertanyaan bersarang dikepalaku. Dan hal itu hanya aku yang mampu menjawabnya.
“Mereka masih saling menyayangi.” pikirku seraya berlari. Aku telah menyakiti dia, aku menyakiti dia. Maafkanlah. Aku tak kuasa menahan air mata. Dalam suasana hati dan pikiran yang kacau, mereka memanggilku yang terus menjauh.
“Heeyy, rasamu tidak pernah salah. Kau benar. Kau menyayangi dia, bukan?” teriaknya dari kejauhan. Hanya samar-samar yang bisa kudengar. Namun entah mengapa, kaki ini terasa begitu berat untuk kembali melangkah. Aku berhenti sejenak bukan untuk mendengakan kicauan dia tetapi lebih ke bahwa kakiku sudah lelah.
“Jika kau menyayangi dia, maka mendekatlah!” aku ragu jika itu hanya tipuan maka aku pun tidak bergerak dari tempatku. Masih dalam posisi yang sama, untuk kali ini aku menoleh kebelakang. Berharap benar-benar ada apa yang dikatakan olehnya. Aku melihat wajah mereka berdua.
“Kemarilah, jika kau memang benar-benar menyayangiku.” ucapnya dengan lembut. Aku kembali hanya bisa diam.
“Jika memang iya, kemarilah!” diulanginya lagi kata-kata itu. Aku tidak tahu harus berkata apa. Haruskah aku mendekat? Atau menjauh? Aku takut menyesalinya. Aku menatap kesebelah kanannya . Ia pun seakan mengatakan yang sama.
“Kakaaaaak, aku sayang kakak.” Aku berlari secepat mungkin untuk segera meraih tangannya. Benar-benar dag dig dug jantung ini. Aku rasakan suhu tubuhku yang meningkat. Keringat bercucuran dari segala arah.
            Aaah, aku terbangun. Sayang sekali  itu hanya di dalam mimpi. Tetapi, merasakan mimpi yang begitu indah itu, membuatku sangat bahagia. Walaupun itu semua tidak mungkin terjadi, seperti sang mentari yang tidak mungkin akan sejuk. Bahkan semakin memanas. J J J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar