Pages

Pages - Menu

Pages - Menu

Rabu, 27 November 2013

Let It Be My Secret



Berjalan menyusuri jalan setapak yang sunyi dan dengan jiwa yang sendiri pula membuatnya seakan berada dalam semudra dengan dia sebagai satu-satunya penyelam sedangkan yang lainnya hanya ikan-ikan dan terumbu karang, yang hanya bisa medengarkan tanpa memahami. Yang hanya bisa mendengarkan tanpa mengerti. Yang hanya bisa membisu tanpa memberi arti apa yang sebenarnya terjadi disini. Disini. Ya, di hatinya. Dihatinya yang paling dalam. Ditambah lagi, wajah muram yang terlukis jelas di wajahnya menambah suasana pilu bagi siapa saja yang memandangnya. Aku tak habis pikir, kenapa hal itu bisa terjadi padanya? Anak yang selalu terlihat tersenyum dan ceria bahkan selalu membagi rasa bahagia pada setiap orang yang ditemuinya. Kini, ia bersedih. Namun, tiada seorang teman pun datang menghampiri untuk mengobati luka itu. Tiada seorang teman pun yang datang untuk berbagi bahagia. Tiada seorang teman pun yang datang untuk megukir kembali seulas senyum yang lama tak menghiasi wajahnya itu. Tiada seorang teman pun yang datang untuk sekedar menanyakan apa yang sedang membuatnya seperti ini.
“Mungkinkah luka yang tak kasat mata sedang memenuhi relung hatinya?” Batinku menerka-nerka. Kulihat lagi dia, kepalanya yang menunduk menandakan bahwa ia memang benar-benar bersedih. Benar-benar bersedih atas apa yang menimpanya. Namun, aku tak tahu apa itu. Ingin sekali rasanya aku mengetahui hal itu. Aku ingin menanyakan hal itu langsung padanya. Namun aku takut hanya akan menambah lukanya. Lukanya yang mungkin tak mampu terobati hanya dengan aku yang menanyainya.
“ Haruskah?” tanyaku pada diriku sendiri. Haruskah aku bertanya? Haruskah? Haruskah aku peduli di saat orang-orang tak peduli. Haruskah aku memberikan sekeping hati untuk menyatukan kembali hati yang hancur itu. Entahlah, semua ini terlalu berat. Ingin aku memberikannya namun dia seperti tak peduli padaku. Jadi, aku bingung. Tak tahu harus berbuat apa. Aku kumpulkan segenap tenaga dan keberanian untuk menanyakan hal itu. Perlahan aku mendekat dan mengucapkan beberapa kata.
“Kau... kenapa? Apa yang telah terjadi? Tanyaku hati-hati, takut jika salah ucap.
“Aku???” jawabnya singkat.
“Iya..”jawabku.
“Kau ingin tahu? Kenapa kau peduli aku? Aku tak berharap seorang peduli terhadapku karena aku tak berharap balasan atas semua yang kulakukan. Atas tawa mereka. Atas segalanya.”
“Aku tidak bermaksud seperti itu. Tidak bolehkah jika aku ingin peduli padamu? Aku ingin melakukan hal yang sama seperti yang kau lakukan. Aku ingin tersenyum, bercerita, tertawa dan bahkan melakukan apa pun bersamamu. Mengukir kenangan indah yang tak terlupakan dan akan mengingatnya sampai kapan pun. Aku inginkan itu, Sa. Aku inginkan itu. Tidakkah kau mendengarku? Aku berbicara padamu?” aku sedikit mengeraskan suaraku karena dari tadi dia terlihat tidak mendengarkanku. Aku seperti berbiara pada patung. Dia hanya bisa diam dan diam dan terus saja menunduk. Ya, masih kulihat wajah sedih itu. Tapi, bagaimana aku tidak tahu harus bagaimana lagi agar senyum itu kembali. Jujur, aku merindukan senyum itu.
            Berulang kali aku berusaha berbicara padanya, tak ada jawaban. Hanya diam dan sesekali suara ranting pohon berderit karena angin menyahut beberapa penggal kataku. Sedikit kesal memang, tapi aku hanya bisa tersenyum. Aku tidak bisa memaksa. Kemudian aku duduk disebelahnya. Aku diam. Kali ini, aku akan mencoba diam seperti dia. Mungkin berfikir seperti tidak ada orang disampingku. Anggap saja aku sendiri di ujung jurang.
            Cukup lama kami berada dalam suasana seperti itu, canggung memang. Seperti suasana orang yang tidak saling mengenal. Kami mengabaikan satu sama lain. Namun akhirnya dia memutuskan untuk bicara. Kali ini, aku mendengarkannya dengan seksama walaupun tanpa menatap matanya. Aku perhatikan kata demi kata yang di ucapkannya.
“Aku.. Maafkan aku, Ta.”
Apa yang harus aku maafkan darimu, kau tidak bersalah apa-apa. Jangan meminta maaf seperti itu. Apa yang terjadi? Aku harap kau menceritakannya padaku! Tumpahkanlah semua rasa yang memenuhi relung hatimu itu. Aku siap mendengarkannya. Aku siap.”
“Kau yakin ingin mendengarkannya? Ini masalah begitu pribadi. Let it be my secret. Aku juga takut kau akan…” aku langsung memotong pembicaraannya tanpa menyuruhnya melanjutkannya. Aku menarik nafas dalam kemudian menghembusakannya kasarr.
“Kenapa kau seperti ini? aku temanmu. Apa yang ingin kau ceritakan, Sa? Apa masalahnya?” tanyaku terheran-heran. Tidak biasanya dia bersikap seperti ini. Biasanya juga apa pun yang di alaminya akan langsung di ceritakannya padaku. Tapi kali ini, dia menutupi sesuatu dariku. Aku menerka-nerka apakah ini ada hubungannya dengan ku?. Sejuta pertanyaan bermunculan di benakku. Berbagai macam spekulasi terus melayang-layang di otakku. Mungkinkah, akankah, adakah. siapakah, apakah… Beberapa menit kemuadian suasana hening kembali menyelimuti kami. Kali ini aku berani membuka mulut. Mengungkapkan kata yang sedari tadi memenuhi otakku.
“Baiklah, I know that’s your secret. Tapi jika kau butuh seorang teman yang ingin kau ajak bicara. Kapan pun aku siap, Sa.” Aku mengakhiri percakapan itu. Aku berdiri dan melangkahkan kaki menjauh darinya.
“Mungkin dia ingin sendiri dan membutuhkan ketenangan.”pikirku tapi tanpa ku duga dia juga berdiri.
“Kau mau kemana?”tanyanya.
“Aku?”
 “Disini saja, Ta. Aku bahkan merasa lebih baik hanya dengan jika kau disini. Maukah kau tetap tinggal disini?”
“Iya.” Aku hanya bisa mengucapkan kata-kata itu. Singkat namun mengandung banyak makna.
            Kembali lagi suasana hening timbul diantara kami. Ya, kali ini aku tidak berani untuk berbicara. Aku mengunci mulutku rapat-rapat. Aku ingin dia yang memulai bicara. Ya, benar saja, tidak lama kemudian dia membuka mulutnya.
“Aku ingin meminta maaf karena aku sudah mengilangkan pena kesayanganmu kemarin, Ta.”
“Huah. Masalah begitu saja kau pake secret-secret an, Sa. Sudah, tak usah kau pikirkan.”
“Tapi kau pernah mengatakan bahwa itu dari orang yang special bagimu, Ta.” tambahnya.
“Ah, sudahlah. Kamu itu lebih penting. :D :D :D” aku menyungingkan senyuman.
            Kemudian dia tertawa, aku pun begitu juga. Aku bahagia. Sebenarnya ada kata lain yang ingin ku ucapkan padaanya. Tapi biarlah hatiku saja yang mengatakannya. Biarkan waktu yang akan menjadi saksinya. Karena aku tidak mau semua yang aku ingin katakana ini seperti daun. Akn gugur dan hilang.
https://www.facebook.com/notes/novi-yanti/let-it-be-my-secret/510742759024759

Tidak ada komentar:

Posting Komentar