Berjalan
menyusuri jalan setapak yang sunyi dan dengan jiwa yang sendiri pula membuatnya
seakan berada dalam semudra dengan dia sebagai satu-satunya penyelam sedangkan
yang lainnya hanya ikan-ikan dan terumbu karang, yang hanya bisa medengarkan tanpa
memahami. Yang hanya bisa mendengarkan tanpa mengerti. Yang hanya bisa membisu
tanpa memberi arti apa yang sebenarnya terjadi disini. Disini. Ya, di hatinya.
Dihatinya yang paling dalam. Ditambah lagi, wajah muram yang terlukis jelas di
wajahnya menambah suasana pilu bagi siapa saja yang memandangnya. Aku tak habis
pikir, kenapa hal itu bisa terjadi padanya? Anak yang selalu terlihat tersenyum
dan ceria bahkan selalu membagi rasa bahagia pada setiap orang yang ditemuinya.
Kini, ia bersedih. Namun, tiada seorang teman pun datang menghampiri untuk
mengobati luka itu. Tiada seorang teman pun yang datang untuk berbagi bahagia.
Tiada seorang teman pun yang datang untuk megukir kembali seulas senyum yang
lama tak menghiasi wajahnya itu. Tiada seorang teman pun yang datang untuk
sekedar menanyakan apa yang sedang membuatnya seperti ini.
“Mungkinkah luka
yang tak kasat mata sedang memenuhi relung hatinya?” Batinku menerka-nerka.
Kulihat lagi dia, kepalanya yang menunduk menandakan bahwa ia memang
benar-benar bersedih. Benar-benar bersedih atas apa yang menimpanya. Namun, aku
tak tahu apa itu. Ingin sekali rasanya aku mengetahui hal itu. Aku ingin
menanyakan hal itu langsung padanya. Namun aku takut hanya akan menambah lukanya.
Lukanya yang mungkin tak mampu terobati hanya dengan aku yang menanyainya.
“ Haruskah?”
tanyaku pada diriku sendiri. Haruskah aku bertanya? Haruskah? Haruskah aku
peduli di saat orang-orang tak peduli. Haruskah aku memberikan sekeping hati
untuk menyatukan kembali hati yang hancur itu. Entahlah, semua ini terlalu
berat. Ingin aku memberikannya namun dia seperti tak peduli padaku. Jadi, aku
bingung. Tak tahu harus berbuat apa. Aku kumpulkan segenap tenaga dan
keberanian untuk menanyakan hal itu.
Perlahan aku mendekat dan mengucapkan beberapa kata.
“Kau... kenapa?
Apa yang telah terjadi? Tanyaku hati-hati, takut jika salah ucap.
“Aku???”
jawabnya singkat.
“Iya..”jawabku.
“Kau ingin tahu?
Kenapa kau peduli aku? Aku tak berharap seorang peduli terhadapku karena aku tak
berharap balasan atas semua yang
kulakukan.
Atas tawa mereka. Atas segalanya.”
“Aku
tidak bermaksud seperti itu. Tidak bolehkah jika aku ingin peduli padamu? Aku
ingin melakukan hal yang sama seperti yang kau lakukan. Aku ingin tersenyum,
bercerita, tertawa dan bahkan melakukan apa pun bersamamu. Mengukir kenangan
indah yang tak terlupakan dan akan mengingatnya sampai kapan pun. Aku inginkan
itu, Sa. Aku inginkan itu. Tidakkah kau mendengarku? Aku berbicara padamu?” aku
sedikit mengeraskan suaraku karena dari tadi dia terlihat tidak mendengarkanku.
Aku seperti berbiara pada patung. Dia hanya bisa diam dan diam dan terus saja
menunduk. Ya, masih kulihat wajah sedih itu. Tapi, bagaimana aku tidak tahu harus
bagaimana lagi agar senyum itu kembali. Jujur, aku merindukan senyum itu.
Berulang kali aku berusaha berbicara
padanya, tak ada jawaban. Hanya diam dan sesekali suara ranting pohon berderit
karena angin menyahut beberapa penggal kataku. Sedikit kesal memang, tapi aku
hanya bisa tersenyum. Aku tidak bisa memaksa. Kemudian aku duduk disebelahnya.
Aku diam. Kali ini, aku akan mencoba diam seperti dia. Mungkin berfikir seperti
tidak ada orang disampingku. Anggap saja aku sendiri di ujung jurang.
Cukup lama kami berada dalam suasana
seperti itu, canggung memang. Seperti suasana orang yang tidak saling mengenal.
Kami mengabaikan satu sama lain. Namun akhirnya dia memutuskan untuk bicara.
Kali ini, aku mendengarkannya dengan seksama walaupun tanpa menatap matanya.
Aku perhatikan kata demi kata yang di ucapkannya.
“Aku..
Maafkan aku, Ta.”
“Apa yang harus aku maafkan darimu, kau tidak bersalah
apa-apa. Jangan meminta maaf seperti itu. Apa yang terjadi? Aku
harap kau menceritakannya padaku! Tumpahkanlah semua rasa yang memenuhi relung
hatimu itu. Aku siap mendengarkannya. Aku siap.”
“Kau
yakin ingin mendengarkannya? Ini masalah begitu pribadi. Let it be my secret.
Aku juga takut kau akan…” aku langsung memotong pembicaraannya tanpa
menyuruhnya melanjutkannya. Aku menarik nafas dalam kemudian menghembusakannya
kasarr.
“Kenapa
kau seperti ini? aku temanmu. Apa yang ingin kau ceritakan, Sa? Apa
masalahnya?” tanyaku terheran-heran. Tidak biasanya dia bersikap seperti ini.
Biasanya juga apa pun yang di alaminya akan langsung di ceritakannya padaku.
Tapi kali ini, dia menutupi sesuatu dariku. Aku menerka-nerka apakah ini ada
hubungannya dengan ku?. Sejuta pertanyaan bermunculan di benakku. Berbagai
macam spekulasi terus melayang-layang di otakku. Mungkinkah, akankah, adakah.
siapakah, apakah… Beberapa menit kemuadian suasana hening kembali menyelimuti
kami. Kali ini aku berani membuka mulut. Mengungkapkan kata yang sedari tadi
memenuhi otakku.
“Baiklah,
I know that’s your secret. Tapi jika kau butuh seorang teman yang ingin kau
ajak bicara. Kapan pun aku siap, Sa.” Aku mengakhiri percakapan itu. Aku berdiri
dan melangkahkan kaki menjauh darinya.
“Mungkin
dia ingin sendiri dan membutuhkan ketenangan.”pikirku tapi tanpa ku duga dia
juga berdiri.
“Kau
mau kemana?”tanyanya.
“Aku?”
“Disini saja, Ta. Aku bahkan merasa lebih baik
hanya dengan jika kau disini. Maukah kau tetap tinggal disini?”
“Iya.”
Aku hanya bisa mengucapkan kata-kata itu. Singkat namun mengandung banyak
makna.
Kembali lagi suasana hening timbul
diantara kami. Ya, kali ini aku tidak berani untuk berbicara. Aku mengunci
mulutku rapat-rapat. Aku ingin dia yang memulai bicara. Ya, benar saja, tidak
lama kemudian dia membuka mulutnya.
“Aku
ingin meminta maaf karena aku sudah mengilangkan pena kesayanganmu kemarin, Ta.”
“Huah.
Masalah begitu saja kau pake secret-secret an, Sa. Sudah, tak usah kau
pikirkan.”
“Tapi
kau pernah mengatakan bahwa itu dari orang yang special bagimu, Ta.” tambahnya.
“Ah,
sudahlah. Kamu itu lebih penting. :D :D :D” aku menyungingkan senyuman.
Kemudian dia tertawa, aku pun begitu
juga. Aku bahagia. Sebenarnya ada kata lain yang ingin ku ucapkan padaanya. Tapi
biarlah hatiku saja yang mengatakannya. Biarkan waktu yang akan menjadi
saksinya. Karena aku tidak mau semua yang aku ingin katakana ini seperti daun. Akn
gugur dan hilang.
https://www.facebook.com/notes/novi-yanti/let-it-be-my-secret/510742759024759
Tidak ada komentar:
Posting Komentar