“Kamu suka dia ya?” tanyanya padaku.
“Tidak, tidak.” jawabku singkat.
“Kamu
suka dia ya?” tanyanya lagi kepadaku. Ekspresi wajahku langsung berubah
tatkala dia menanyakan hal itu kepadaku. Menanyakan kebenaran
perasaanku itu. Tidak tahu kenapa, jantung ini rasanya berdegup lebih
cepat dan lidah ini terasa begitu berat untuk mengatakan tidak ketiga
kalinya. Hatiku memberontak. Dia ingin aku mengatakan iya tetapi di
dalam pikiran ini hanya ada kata tidak.
“Hentikan percakapan ini.
Aku muak. Aku lelah. Aku…aaa…” hingga akhirnya kalimat itulah yang
terlontar dari mulutku. Aku langsung berlari tanpa menyelesaikannya.
Berlari sejauh mungkin dan berlari sekuat tenaga sebagaimana aku menahan
perasaan ini. Sebagaimana aku tidak mempedulikan rasa sakit yang
mendera kakiku. Tidak memperdulikan juga air mata air mata yang terus
mengalir deras melalui kelopak mata ini. Yang kupikirkan saat ini hanya
bagaimana cara menghilangkan dengan cepat rasa ini atau
mempertahankannya untuk waktu yang lama. Waktu yang tidak bisa aku
perkirakan.
Setelah berlari cukup jauh itu, rasa lelah mulai
kurasakan. Aku menghentikan langkahku tepat di bawah pohon. Kulihat
tempat duduk disana. Perlahan aku mengangkat kaki mendekati tempat itu.
Tidak kutolehkan sedikit pun kepala kebelakang. Terus berjalan maju
semakin dekat dan semakin mendekatinya. Percaya bahwa aku akan segera
menemukan ketenangan disana. Melupakan sejenak kegelisahan.
Kupandangi
pepohonan yang berada di sekelilingnya. Memang benar aku merasakan
ketenangan disana. Namun kembali aku teringat akan rasa itu. Gelombang
kesedihan bercampur dengan gelombang kegilaan menenggelamkanku ke dasar
laut kepedihan yang mendalam. Bahkan bukan hanya bisa dikatakan
gelombang tetapi lebih ke ibaratkan tsunami, mengguncang jiwa dan
memporak-porandakan hati ini. Terus dan semakin dalam aku terbuai oleh
semua rasa itu. Mungkinkah ini salah?
“Aaaa…. Kalian?” aku
langsung berteriak dan kembali berlari ketika mereka datang. Aku ingin
pulang. “Kenapa mereka disana? Kenapa aku bisa bertemu dengan mereka?”
berbagai macam pertanyaan bersarang dikepalaku. Dan hal itu hanya aku
yang mampu menjawabnya.
“Mereka masih saling menyayangi.” pikirku
seraya berlari. Aku telah menyakiti dia, aku menyakiti dia. Maafkanlah.
Aku tak kuasa menahan air mata. Dalam suasana hati dan pikiran yang
kacau, mereka memanggilku yang terus menjauh.
“Heeyy, rasamu tidak
pernah salah. Kau benar. Kau menyayangi dia, bukan?” teriaknya dari
kejauhan. Hanya samar-samar yang bisa kudengar. Namun entah mengapa,
kaki ini terasa begitu berat untuk kembali melangkah. Aku berhenti
sejenak bukan untuk mendengakan kicauan dia tetapi lebih ke bahwa kakiku
sudah lelah.
“Jika kau menyayangi dia, maka mendekatlah!” aku
ragu jika itu hanya tipuan maka aku pun tidak bergerak dari tempatku.
Masih dalam posisi yang sama, untuk kali ini aku menoleh kebelakang.
Berharap benar-benar ada apa yang dikatakan olehnya. Aku melihat wajah
mereka berdua.
“Kemarilah, jika kau memang benar-benar menyayangiku.” ucapnya dengan lembut. Aku kembali hanya bisa diam.
“Jika
memang iya, kemarilah!” diulanginya lagi kata-kata itu. Aku tidak tahu
harus berkata apa. Haruskah aku mendekat? Atau menjauh? Aku takut
menyesalinya. Aku menatap kesebelah kanannya . Ia pun seakan mengatakan
yang sama.
“Kakaaaaak, aku sayang kakak.” Aku berlari secepat
mungkin untuk segera meraih tangannya. Benar-benar dag dig dug jantung
ini. Aku rasakan suhu tubuhku yang meningkat. Keringat bercucuran dari
segala arah.
Aaah, aku terbangun. Sayang sekali itu
hanya di dalam mimpi. Tetapi, merasakan mimpi yang begitu indah itu,
membuatku sangat bahagia. Walaupun itu semua tidak mungkin terjadi,
seperti sang mentari yang tidak mungkin akan sejuk. Bahkan semakin
memanas. J J J