Hobi baruku? Ah, tidak. Sedari dulu aku tak suka banyak bicara, aku akan mengantuk dan lelah dengan suara perut yang menyuarakan untuk makan segera. Apalagi, Ayahku bukan orang yang banyak bicara. Ibuku iya, tapi seadanya. Aku yang lebih sering berpergian dengan ayahku lebih menuruni sifat ayahku. Jadi, kemungkinan kecil sekali aku punya hobi yang seperti itu. Aku hanya mengelak dari rasa sepiku. Menghibur diri, mencoba menentramkan hati dari rasa kecewa yang datang silih berganti. Entahlah. Hatiku merintih ingin hatimu kunjungi. Miris. Dia terus meminta, tapi tak mau mengemis. Dia hanya bisa tertatih, menunduk letih sambil mengais keberadaanmu ditengah kebisingan wanita-wanita yang mempesona hati. Sulit untuk menemukanmu. Ini saja tanpa sengaja. Mungkin saja kebetulan seperti katamu tapi Allah swt-ku tak mungkin tak punya sesuatu untuk sebuah pertemuan yang lalu. Semoga saja bahagia di akhirku, berharap saja begitu.
Hadirnya dirimu yang tak pernah
terpikirkan olehku waktu itu, kini sungguh memotivasi diriku untuk lebih
bersemangat lagi, lagi dan lagi. Kau mengajarkanku bagaimana seharusnya sebuah
mimpi untuk benar-benar diperjuangkan sepenuh hati. Kau juga bahkan
menginspirasiku untuk menulis lagi, salah satu alasan kenapa aku kembali
menggerakkan jari-jariku, menarikan mataku, mengotak-atik otakku untuk sedekar mengekspresikan
apa yang sebenarnya kurasakan. Yah, aku benar-benar tak pandai berbicara secara
lisan. Ada suatu semacam kegelisahan penuh kekhawatiran dan ketakutan jika
nanti akan melukai seorang insan atau pada saat itu otakku berfikir terlalu
banyak dan tak mampu memilih kalimat apa yang pantas aku katakan atau aku
sedang benar-benar tak ingin memikirkan apa yang harus kubicarakan. Tapi
sekarang aku sudah belajar, aku mulai sadar bahwa diam tak akan menghasilkan
apa apa. Hanya akan ada rasa yang hambar seperti manisan tanpa gula, tak
terasa.
Diam tanpa biacara, tak mengatakan
apa-apa sungguh menyiksa. Memang benar sebagian besar wanita seperti itu
katanya, dan aku salah satunya. Tapi untuk terus berpangku tangan dan tak
melakukan apa-apa, kupikir itu terlalu pasrah. Tubuh ini mendeklarasikan
perang, tak ingin aku acuh, hanyut dalam ketidakpedulian. Dengan begitu, tak
mungkin aku diam saja saat aku mulai terancam, bukan? Aku harus bangkit, bergerak, melindugi dan
mempertahankan kemudian sebisa mungkin menuju, bahkan berlari ke tujuanku, atau
tetap seperti ini tanpa kemajuan di dalam diri, kemudian mati.
Entahlah. Aku sudah mengatakannya
dahulu, jikalau ini terlalu sulit dicerna otakku. “oh gadis kecilku.”kata
ayahku.
Terimakasih, terimakasih malam tadi
sudah hadir menyapaku. ‘Kau masih sama dan masih disana.’ Aku menggugurkan
pikiran negatifku. Mematahkan dahan kekecewaanku. Memotong batang yang rapuh. Menumbuhkan
kembali rasa peduliku. Menyiram rindu agar tidak layu, mengisi pohon hatiku
dengan rasa sayangku. Berjuanglah bang ......
Aku juga akan berjuang. Teruslah bersemangat,
Nov!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar