Pages

Pages - Menu

Pages - Menu

Sabtu, 25 Februari 2017

HIMATETA: PEMIRA DAN NOMOR 2!

Hiruk-pikuk isu tentang pemira himpunan mahasiswa teknologi pertanian di universitas sriwijaya terdengar sejak lama. Pemiliahan ketua yang baru dengan cara yang baru pula membawa kontroversi tersendiri bgi masyarakat teknologi pertanian di univeristas sriwijaya. Pasalnya pemira ini meupakan yang pertama, pemilihan di tahun sebelum-sebelumnya yang dilakukan dengan cara musyawarah. Artinya, belum banyak pengalaman untuk pemilihan yang dilakukan secara langsung oleh masyarakat yang tergabung di dalamnya, namun hal tersebut tidak menyurutkan niat Komisi Pmilihan Umum Tekper untuk tetap melaksanakan kegiatan ini.
            Tinggal beberapa hari lagi. Tepatnya tiga hari lagi. Pemira tersebut akan dilaksanakan. Bahkan hari ini, sampai pukul 12 nanti adalah batas kampanye baik lisan maupun tulisan. Oleh karena itu, sekarang puku 22.40 maka kami harus bersemangat sampai akhir untk menuntaskan masa kampanye ini kemudian masuk ke hari tenang sehingga apabila usaha kami sudah maksimal, tentu-lah hasil yang maksimal juga yang akan kami dapatkan. Muhammad satria saputra dan Ibnu Fikri adalah calon ketua himateta nomor urut 2. Nomor urut tersebut didapatkan dengan cara diundi dan disaksikan oleh warga ternologi pertanian yang hadir pada saat deklarasi.
NIM

05031181520009
NAMA
MUHAMMAD SATRIA SAPUTRA
FAKULTAS / PRODI
FAKULTAS PERTANIAN / TEKNIK HASIL PERTANIAN (S1 KAMPUS INDRALAYA)
JENIS KELAMIN
LAKI-LAKI
AGAMA
ISLAM
ASAL SMA
SMAS PUSRI PLG, KOTA PALEMBANG
STATUS
AKTIF
NIM

05021381520059
NAMA
IBNU FIKRI PRIWANDA
FAKULTAS / PRODI
FAKULTAS PERTANIAN / TEKNIK PERTANIAN (S1 KAMPUS INDRALAYA)
JENIS KELAMIN
LAKI-LAKI
AGAMA
ISLAM
ASAL SMA

STATUS
AKTIF
Tahun 2017 akan menjadi sejarah baru. Selasa, 28 Februari adalah hari dan tanggal yang sudah ditetapkan dan dirasa hari yang terbaik oleh KPU Tekper untuk dilaksanakannya Pemilu tersebut. Oleh karena itu, sudah sepatutnya sebagai warga Tekper untuk mencatat dan mengingat hari tersebut kemudian merealisasikannya dalam kehidupan ber-mahasiswa dengan datang ke tempat pemungutan suara dan mengeluarkan hak suara kita. 
Selanjutnya Kenapa harus memilih?
Kami jelaskan, pemira ini bukanlah tingkat nasional, bukan pula fakultas namun masih bersifat jurusan. Hal tersebut tidak lantas membuat kita meremehan pemira ini. KPU tekper serta jajarannya bekerja keras untuk terselenggaranya kegiatan ini. Oleh karena itu, sudah sepatutnya sebagai warga tekper kita harus memberikan suara kita sebagai bentuk apresiasi atas usaha dan kerja keras dari semua pihak yang terkait dengan pemira ini. Kutipan yang sangat menginpirasi menurut pandangan saya:
(“Pemira, apa gunanya? Kenapa ga orang-orang aktif organisasi aja yang milih, toh siapapun yang kepilih dan bakal mimpin ga ada ngaruh-ngaruhnya sama kehidupan aku.” Perkataan ini mungkin sering kita dengar dari teman-teman kita yang acuh tak acuh terhadap dinamika organisasi di kampus, ataupun teman yang berpandangan bahwa memang kehadiran pemimpin baru dengan organisasi mahasiswanya tidak memberikan pengaruh pada dirinya. Benarkah opini mengenai Pemira itu? Tentu saja kita mengatakan salah ketika Pemira itu dikatakan tidak berguna, karena disinilah proses pergantian kepengurusan untuk menghasilkan pemimpin terbaik itu terjadi. Pemira adalah bentuk demokrasi dalam kampus, seluruh mahasiswa berhak memilih pemimpin yang dianggap terbaik dan layak mengemban tanggungjawab organisasi. Esensi utama dari penyelenggaraan Pemira ini adalah bagaimana Pemilihan ketua organisasi ini bukan semata voting mencari idola kampus semata, tetapi juga bentuk kepedulian kita pada kehidupan mahasiswa secara keseluruhan, Pemira adalah bentuk partisipasi demokrasi yang mengharapkan perubahan lebih baik bagi kehidupan mahasiswa secara keseluruhan (Ibrahim, 2013).)
Begitu pula dengan kita, bukan? Kita semua menginginkan Tekper yang lebih baik, Tekper maju, Tekper tentram dan damai. Kita semua memimpikan hal itu.
Yuk, datang ke tempat pemungutan suara
Pilih Nomor 2!
Saya sangat yakin, sesuatu yang dikerjakan dengan kejujuran dan ketulusan akan membuahkan hasil.

Kamis, 09 Februari 2017

Dimana? (2)



Hobi baruku? Ah, tidak. Sedari dulu aku tak suka banyak bicara, aku akan mengantuk dan lelah dengan suara perut yang menyuarakan untuk makan segera. Apalagi, Ayahku bukan orang yang banyak bicara. Ibuku iya, tapi seadanya. Aku yang lebih sering berpergian dengan ayahku lebih menuruni sifat ayahku. Jadi, kemungkinan kecil sekali aku punya hobi yang seperti itu. Aku hanya mengelak dari rasa sepiku. Menghibur diri, mencoba menentramkan hati dari rasa kecewa yang datang silih berganti. Entahlah. Hatiku merintih ingin hatimu kunjungi. Miris. Dia terus meminta, tapi tak mau mengemis. Dia hanya bisa tertatih, menunduk letih sambil mengais keberadaanmu ditengah kebisingan wanita-wanita yang mempesona hati. Sulit untuk menemukanmu. Ini saja tanpa sengaja. Mungkin saja kebetulan seperti katamu tapi Allah swt-ku tak mungkin tak punya sesuatu untuk sebuah pertemuan yang lalu. Semoga saja bahagia di akhirku, berharap saja begitu.
Hadirnya dirimu yang tak pernah terpikirkan olehku waktu itu, kini sungguh memotivasi diriku untuk lebih bersemangat lagi, lagi dan lagi. Kau mengajarkanku bagaimana seharusnya sebuah mimpi untuk benar-benar diperjuangkan sepenuh hati. Kau juga bahkan menginspirasiku untuk menulis lagi, salah satu alasan kenapa aku kembali menggerakkan jari-jariku, menarikan mataku, mengotak-atik otakku untuk sedekar mengekspresikan apa yang sebenarnya kurasakan. Yah, aku benar-benar tak pandai berbicara secara lisan. Ada suatu semacam kegelisahan penuh kekhawatiran dan ketakutan jika nanti akan melukai seorang insan atau pada saat itu otakku berfikir terlalu banyak dan tak mampu memilih kalimat apa yang pantas aku katakan atau aku sedang benar-benar tak ingin memikirkan apa yang harus kubicarakan. Tapi sekarang aku sudah belajar, aku mulai sadar bahwa diam tak akan menghasilkan apa apa. Hanya akan ada rasa yang hambar seperti manisan tanpa gula, tak terasa.
Diam tanpa biacara, tak mengatakan apa-apa sungguh menyiksa. Memang benar sebagian besar wanita seperti itu katanya, dan aku salah satunya. Tapi untuk terus berpangku tangan dan tak melakukan apa-apa, kupikir itu terlalu pasrah. Tubuh ini mendeklarasikan perang, tak ingin aku acuh, hanyut dalam ketidakpedulian. Dengan begitu, tak mungkin aku diam saja saat aku mulai terancam, bukan?  Aku harus bangkit, bergerak, melindugi dan mempertahankan kemudian sebisa mungkin menuju, bahkan berlari ke tujuanku, atau tetap seperti ini tanpa kemajuan di dalam diri, kemudian mati.
Entahlah. Aku sudah mengatakannya dahulu, jikalau ini terlalu sulit dicerna otakku. “oh gadis kecilku.”kata ayahku.
Terimakasih, terimakasih malam tadi sudah hadir menyapaku. ‘Kau masih sama dan masih disana.’ Aku menggugurkan pikiran negatifku. Mematahkan dahan kekecewaanku. Memotong batang yang rapuh. Menumbuhkan kembali rasa peduliku. Menyiram rindu agar tidak layu, mengisi pohon hatiku dengan rasa sayangku. Berjuanglah bang ......

Aku juga akan berjuang. Teruslah bersemangat, Nov!

Senin, 06 Februari 2017

Dimana? (1)

              Aku menatapnya dari tempat tidurku. Sayup, dia terlihat begitu jauh dimataku. Benda berwarna hitam yang sudah pernah rusak itu, isinya kini kebanyakan adalah laporan-laporan praktikumku atau bahan ajar yang harus kupelajari siang dan malam sebelum tidurku. Beberapa kenangan sd, smp dan sma ku yang sempat diabadikan  dalam bentuk fotografi hanya menyisakan memori indah yang tak mampu ku ulangi. Sebenarnya masa itu indah, tapi aku lebih memilih apa yang ada di hadapanku sekarang, lebih menikmati hidupku, bersyukur atas yang ku punya saat ini. Agar kelak ku kan raih yang lebih baik lagi. Bukan tak ingin kembali ke masa itu, tapi biarlah saat itu menjadi penyemangat diri dikala sepi, menjadi motivasi ketika aku tersakiti, menjadi bagian dari kepingan perjalanan hidup ku pastikan Rabb-ku sudah persiapkan untukku yang lebih baik lagi.
            Ini minggu yang sangat melelahkan. Aku hanya bisa menatap semua kepunyaanku tanpa bisa menyapanya apalagi bercengkrama dengannya. Yah, aku merasa ada yang salah padamu atau hatiku saja yang merasakannya berbeda. Tapi, setiap ku  tanya mengapa kau selalu menjawab tak apa hingga membuatku tak lagi berani bertanya. Aku sudah kehabisan akal. Mungkin kau benar-benar tidak bisa menceritakanya kepada siapa pun atau hanya denganku kau seperti itu? Entahlah, pikiran liarku selalu saja negatif. Aku hanya bisa bertanya pada diriku tentang bagaimana keadaanmu tanpa menemukan jawabannya.
            Berfikir sendiri di dalam otakku dan seakan aku berjuang sendiri untuk menggapaimu, ini menyakitkan. Aku tidak mendengar kata penolakan tapi aku merasa sikapmu padaku akhir-akhir ini begitu. Aku merasa kau hanya tidak enak hati untuk mengatakannya, padahal dahulu bukan aku yang pertama kali menyapamu. Seperti inilah, aku takut: aku takut ‘say hi’ pada semua orang yang baru kujumpai. Aku takut mereka  akan menghilang seperti kau saat ini dan aku menderita tanpa arah dengan rasa lelah dan bersalah yang entah dari mana.  Semakin hari kurasa kau semakin jauh. Kau juga tak kunjung datang padaku sedekar menyakan bagaimana kabarku, apa yang aku lakukan, aku pergi bersama siapa dan pertanyaan-pertanyaan lain seperti biasanya. Bahkan setiap kali aku datang, aku yang terus bertanya dengan jawaban seadanya. Bukan untuk selalu ditanya seperti itu, setidaknya beri aku kabar, tak apa walau tak setiap hari. Aku berfikir keras, siapa yang salah disini? Apakah aku melakukan kesalahan? Apakah aku yang tidak bisa menjagamu? Atau memang kau yang memutuskan untuk pergi? Ah, tidak, tidak. Inilah yang paling mengerikan dan menakutkan.
            Aku tak ingin itu terjadi. Berkali-kali aku meyakinkan diriku bahwa itu bukanlah sautu kebenaran. Mungkin saja kau sedang tak ada waktu atau kau lagi mempersiapkan sesuatu. Aku tidak tahu. Kau tidak menceritakannya kepadaku. Kau bahkan pernah menulis ‘pusing,*emoticon mau cerita kemana ya Allah’? Padahal aku disini. Tapi aku diam. Kau tau bagaimana aku menekan rasa ingin tahuku itu, aku tidur lebih awal. Kembali pada kebiasaan lamaku. Hari ini sama. Kau masih begitu. Aku memutuskan hanya untuk menunggu. Menatapmu dari jauh seperti benda berwarna hitamku. Entahlah. Aku rindu.  Tapi, sudahlah, aku sudah memutuskan hanya akan menunggu hari dimana kau akan datang padaku. Aku akan berusaha tetap diam disini.
            Hari selanjutnya kuputuskan untuk menulis lagi. Ada banyak hal yang bersarang dikepalaku. Ada banyak yang ingin aku ceritakan. Ada banyak yang ingin aku tanyakan tapi aku tak tau harus bercerita dan bertanya pada siapa. Akir-akhir ini aku punya hobi baru. Aku tidak bisa berhenti bicara dan aku lelah. Ceritaku bahkan itu-itu saja yang terus kuulang. Tetang orang yang sama pada orang yang sama. Mungkin orang yang kuajak bercerita bosan mendengarku jadi aku memindahkannya kesini. Tak ingin ambil pusing, ini agar aku tenang tanpa rasa sesal. Yah. Aku hanya ingin bertanya dimana seseorang yang mengagumkan itu?

will be continued...


Minggu, 05 Februari 2017

Permintaan-Ku

Tak usah membaca cerita ini. Cukuplah sampai disini, tak usah sampai akhir. Cerita ini teralalu sedih nan penuh emosi. Lengkap dengan perasaan luka dan kecewa di hati serta lelah tak kasat mata dengan kebahagian yang kunjung kunikmati. Aku khawatir akan membawamu pada ketidakberdayaan yang akan melemahkan kasih sayangmu tanpa motivasi. Sejatinya, kebahagian dan rasa cukup di dapat dengan bersyukur akan kenikmatan itu sendiri. Tapi ini terlalu sulit untuk dicerna otakku. Gadis kecil yang sangat takut kehilangan. Gadis kecil yang baru saja memulai perjalan hidup yang sesungguhnya tapi belum benar-benar yang sesungguhnya. Perjalanan masih terbentang luas bahkan setelah aku lulus pendidikan sma.
            Ku kira ini akan indah, ku kira perjalanan ini hanya akan ada kesenangan. Bahkan kalian  juga berfikiran sama denganku, bukan? Betapa bahagianya hati pertama kali tahu bahwa sudah lulus sma, saat pertama kali. Saat pertama kali menjadi seseorang bukan siswa lagi. Seiring waktu, perlahan kemudian pemikiran itu kian memudar. Terlalu banyak masalah yang dihadapi untuk seseorang bukan siswa lagi dan aku harus bersikap seperti orang dewasa yang penuh tanggung jawab yang dituntut seolah mengerti akan isi seluruh dunia yang fana ini.  Entahlah, katanya ini bagian dari metamorfosa diri. Tapi,seperti ini jugakah yang dialami mereka di luar sana? Seperti inikah? Adakah yang lebih menyakitkan dari ini? Adakah yang lebih melelahkan dari ini? Tunjukkan padaku!
            Seakan aku yang paling menderita, ini berat, menyesakkan dada. Ada suatu perasaan yang bergemuruh dihatiku. Menggelora penuh benci, bergetar dengan pasti, lengkap dengan kasih. Aku tak mampu lagi membedakan, mana saat aku merasa bahagia bersamamu atau malah terengah merangkak keluar dari rasa kecewaku. Entahlah. Rasa itu bersatu dikepalaku. Tak mampu aku meredamnya, bahkan dengan nada-nada indah sebuah lagu, yang ada bahkan hanya rasa sayang yang semakin menjadi-jadi dengan rasa kecewa yang datang bertubi-tubi hingga rasanya ingin pecah kepalaku ini.
            Diatas semua itu, apakah kau masih membaca ceritaku yang ini? Apakah sudah sampai pada bagian ini kau membacanya? Oh, bukan itu yang seharusnya aku tanyakan terlebih dahulu. Seharusnya aku menanyakan ini, apakah kau membaca cerita ini? Oh tidak, aku seharusnya menanykan ini terlebih dahulu, apakah kau tau aku ini sedang menulis cerita tentangmu? Tidakkah kau lihat saat sudah kupublikasikan? Maukah kau membacanya? Sekarang, apakah kau sedang membaca ceritaku ini? Bagaimana? Oh, apakah sudah kau baca ceritaku yang sebelumnya? Itu juga tentangmu. Ah, tidak. Aku tidak ingin mengetahui jawaban dari pertanyaan-pertanyaaan bodoh itu. Aku tidak ingin mengetahuinya. Aku tidak ingin mengetahuinya. Aku tidak pernah memikirkan apa pun tentangmu. Aku tidak pernah. Aku tidak pernah sekalipun tidak berfikir tentangmu. Aku berbohong! Aku mengatakan kedustaan bahwa ceritaku ini tidak ingin kau baca. Aku mengatakan kedustaan bahwa aku tidak pernah sekalipun tidak memikirkanmu. Atau kau percaya aku tidak pernah memikirkanmu? Kau percaya? Kau percaya aku tidak ingin tau jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku yang bodoh itu? Kau percaya bahwa aku tidak ingin kau membaca ceritaku seperti yang pada awal cerira ini kukatan? Kau percaya? Kau mau melakukannya? Sekali lagi, semua itu kebohongan yang aku ciptakan agar aku merasa bahwa benar kau tak lagi peduli tentangku.
Sebenarnya aku sangat ingin sekali tau. Aku ingin sekali tau. Aku ingin tau. Aku ingin tau apa yang sedang kau pikirkan. Aku ingin tau apa yang sedang kau lakukan. Aku ingin tau kau sedang bersama siapa? Kau lagi dimana? Aku ingin tau, ingin tau segalanya tentangmu. Aku hanya ingin kau baca. Aku hanya ingin, kau baca. Aku, hanya ingin kau, baca.
            Sampai disini, aku tidak percaya, aku mengatakannya. Aku sudah mengatakannya disini. Bahkan akuu menuliskannya dengan sepenuh hati. Rasa yang selama ini bersarang dihatiku, penuh duri. Terus terang saja, hatiku lelah dengan sikapmu. Hatiku lelah terus bertanya ada apa saat ini denganmu? Kenapa kau terasa begitu dingin? Tidak sehangat kemarin? Entahlah. Kau tau? Ini semacam mengundang kematian hatiku. Memporak-porandakan semangatku. Meluluh-lantahkan harapanku. Beku, jauh kedalam tertimbun reruntuh dinginnya butiran perlakuanmu. Aku hanya ingin menjadi ‘orang dewasa yang ingin tau sesuatu’ , yang tetap bertanya, dan berfikiran terbuka serta penuh profesionalisme kerja seperti yang dimotivasikan dosenku.
            Akhirnya, jika saja kau tidak bisa melakukan pemintaanku itu. Setidaknya, lakukanlah untuk oranglain, yang kau sayangi. Hangatkan mereka dengan penuh kasih. Sayangi mereka seperti matahari. Sediakan tempat bagi hati mereka untuk benar-benar merasakan bahwa kau peduli. Yakinkan mereka untuk tidak meragu lagi. Hembuskan kebahagiaan disetiap nafasmu untuk jiwa yang letih. Berikan semangat untuk hati yang merintih. Hilangkan sedih. Hapuskan tangis yang memabasahi pipi. Pastikan mereka kau hargai seperti kau menghargai dirimu sendiri. Yang pasti, aku harap kau melakukannya untuk diriku ini, walaupun aku tau kau bisa memilih. 

Sabtu, 04 Februari 2017

Kau Harus Memilih

         
             Ini bukan kisahku, jangan berfikir bahwa ini terjadi padaku, tapi aku menggunakan aku. Harapanku ini adalah khayalan yang muncul hasil pemikiranku.  Kita mulai saja. Malam itu, bukan, dari dua hari yang lalu aku merasa resah dan gelisah. Entahlah, aku bahkan sulit memahami diriku. Tapi aku mencoba untuk memahami oranglain. Tidakkah itu buruk? Aku tidak tahu. Beberapa hal terlalu kupikirkan. Berlebihan? Mungkin iya, beberapa orang mengatakan padaku agar aku tidak berlebihan. Tiba-tiba saja hal itu muncul diotakku. Tetapi, aku tidak mengerti apa yang harus aku lakukan. Ini rumit dan terlalu banyak cabangya. Mungkin nanti akan ada balaasan atas apa ketdidaktahuanku, ketidakpahamanku, dan ketidakmengertianku ini. Entahlah, mungkin hanya itu kemampuanku. Tapi aku ingin belajar. Ajari aku agar aku mengerti, agar aku paham, agar aku tau maksud dirimu.
            Kemampuanku itu mengantarkan ku untuk selalu berifikran negatif. Ya, tapi tetap saja, pemikiranku itu hampir selalu benar dan tepat.  Aku merintih, ini terlalu sakit untuk hatiku. Aku akan mengulanginya lagi, ini sakit dan terlalu menusuk jiwaku. Ini sakit.  tidakkah kau tau? Ini sakit. Padahal ada banyak kesakitan yang lain yang lebih layak kutangisi. Entahlah, air mataku jatuh malam itu.  Dia sudah rapuh. Tangis yang selama ini kujaga, tak mampu lagi ku ajak bermusyawarah. Aku tak dapat lagi memendamnya. Ini berat, kuat dan tak lagi mampu ku bawa. Dia memberontak, inginkan aku mengerti dia. Aku tak sanggup menahannya lebih lama. Ini terus menyesakkan dadaku. Aku tak mampu lagi berpura-bura teesenyum, atas kemungkinan kebahagianmu itu..
            Kebahagiaan? Ya, Kebahagiaanmu. Kemungkinan bahagiamu itu. Kemungkinan bahagia yang kadang datang seperti hantu padaku. Mengerikan dan Menakutiku. Kebahagian yang datang padamu yang akan merubah sikapmu terhadapku, begitulah pikiranku akhir-akhir ini terhadapmu, dan memang begitu, hampir seluruhnya benar prasangkaku terhadapmu, seperti itu yang ku tau. Terus terang saja, itulah yang mengantarkanku malam itu, menon-aktikan ponselku dan airmata yang ku bawa ditidurku.
            Tidakkah kau mengerti apa yang ingin kujelaskaa padamu?  Baklah, jika belum sampai menyentuh hatimu akan ku perjelas lagi. Ku perjelas lagi, selama aku mengenalmu, setahun yang lalu lebih, aku tidak mempermasalahkan apa pun  tentangmu. Setiap kau bercerita tentang gadismu, aku akan biasa saja. Kutanggapi denagn ceria ceritamu itu. Entah sejak kapan, aku tidak tahu, ada rasa sakit dan membuat suasana hatiku berubah  tidak enak jika kau berbicara tentag dia atau menceritakannya padaku. Entahlah. Entahlah. Itu apa, aku  tidak tau. Awalnya hanya satu saja kemudian menyebar ke yang lain Aku terus saja menghindar dari rasa itu dan tidak mengakuinya. Aku masih tidak percaya aku melakukannya. Aku terus saja merasa (berpura-pura)  bahagia apabila kau bercerita tentang gadis-gadismu yang lain. (Aha, seperti kau apa saja ku sebut gadis-gadis). Ah, tidak, aku tidak pernah menganggapmu seperti itu. Kau selalu mengagumkan dan semakin mengagumkan sampai hari ini. Ya, aku tidak tau apa yang mengagumkan darimu, tapi seluruhnya. Seluruhnya mengagumkan.
            Hari berlalu, sampai hari ini yang mengagumkan darimu tetap seperti itu. Bahkan semakin banyak aku tau, lebih lagi dan lebih lagi mengagumkan. Ada banyak yang lebih mengagumkan darimu tapi tak sampai bertahan selama ini. Baiklah, aku mengakuinya, aku terus kembali padamu. Hari dimana aku memutuskan untuk pergi,  hari dimana puncak aku tak sanggup lagi mendengar cerita tentang gadismu itu, air mataku tak sampai untuk jatuh tapi memang sedikit bersedih (sih) tapi bahkan aku masih saja kembali. Tidak, kau yang datang padaku hari itu, dan aku yang memang masih berat  tanpamu.  Tapi malam itu entahlah, semua gadis-gadis yang kau ceritakan dahulu-dahulu dan dia yang baru saja kau sebut di pesan singkatku berputar diotakku. Menguras tenanga dan pikiranku dan menyisakan sakit yang tak mampu kau lihat. Sudahlah, jadi aku memutuskan untuk tidur dengan ponselku yang ku non-aktifkan, berharap saat bangun, tak ada yang otakku pikirkan selain tugasku. Aku tau pada akhirnya semua orang harus menentukan dan memilih, tapi memikirkannya saja aku tak sanggup. Aku tak sanggup jika aku harus memilih pergi (lagi). Tapi diatas semuanya, aku percaya, kau bisa, aku bisa. Semoga kebahagian bersama kita.