Hari ini kami ramai-ramai berangkat ke gedung berwarna biru putih, Dinas Penddikan kami menyebutnya. Kami mengantarkan, Adik saya.
Pergi menuntut ilmu.
Kali ini rumah terasa benar-benar berbeda.
Tidak ada lagi teman berantem. Tidak ada lagi yang bisa saya suruh bawakan tas. Tidak ada lagi yang bisa diminta belikan ini itu. Tidak ada lagi yang bisa dipaksa menemani ke sana ke sini.
Ia akan belajar di universitas. Di kota hujan.
“Semangat ya, Dik. Anak sholeh.”
Itu doa saya. Dalam hati, dalam setiap langkah.
Saya yakin, masa depan yang baik sedang menunggu.
Tantangan pasti banyak. Tapi bukankah itu justru tanda bahwa jalan ini jalan yang benar? Menuntut ilmu memang tak selalu mudah.
Saya mengantarnya dengan kaca mata hitam.
Alasan resmi: biar kelihatan keren.
Alasan sebenarnya: untuk sembunyikan mata yang basah.
Menangis ternyata, ya.
Dan tiba-tiba saya ingat diri saya dulu.
Waktu kembali ke perantauan. Naik bus. Duduk di kursi dekat jendela. Menangis pelan-pelan. Tidak ada yang tahu.
Hari ini rasanya sama. Hanya saja, kali ini saya di kursi pengantar.
Adik ketiga ini—paling sering bikin riuh rumah.
Kadang kami debat soal baju kaos yang dia pakai tanpa izin. Kadang soal parfum saya yang tiba-tiba berkurang. Tadi pagi malah ribut soal Al-Quran: punyaku atau punyanya.
Padahal, kalau saya jujur, sebenarnya dalam hati tak apa juga.
Saya teringat sebuah foto. Tahun 2023.
Saya minta tolong dia bawakan tas. Bawakan segala macam mau saya. Dia lakukan. Tanpa banyak tanya.
Hari ini, giliran dia pergi. Membawa harapan besar.
Rumah akan lebih sunyi. Tidak ada lagi ribut-ribut kecil.
Tapi hati saya harus lapang.
Doa saya sederhana.
Semoga dia sukses.
Semoga ilmunya berkah.
Semoga jadi anak sholeh yang bermanfaat bagi banyak orang.
Air mata saya jatuh juga.
Tapi bukan karena kehilangan.
Karena saya percaya, setiap langkahnya di kota hujan adalah bagian dari doa yang sedang Allah kabulkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar