Ketika luka tak sembuh pada cermin yang masih retak, harapan sirna pada rumah yang tak lagi utuh. Dan kau kembali berhasil menjahitkan rindu di antara kaca jendela. Meskipun rindu itu terbengkalai serasa tak berguna.
Aku yang tak terdengar oleh siapapun. Bisu yang begitu bising mengutuk kesendirian. Sorai yang begitu ramai merayakan gagal dan tawa. Mengendap tersedak memonologkan diri. Menghitung hari demi hari berlalu, mengantarkan potret segala tentangmu yang akan segera menjadi kenangan demi kenangan. Lalu dibawa penghujan menuju musim berikutnya.
Entah lebih cepat atau lambat penghujan tidak pernah gagal menjalankan tugasnya. Tapi kau tenang saja, suara dan wajahmu boleh tergerus masa. Namun namamu telah abadi dalam pusara puisi-puisiku.
Aku dan seluruh keberadaanku telah remuk--melebur menjadi kata demi kata yang tak terdefinisikan. Beserta pepohonan dengan siluet kering nan rapuh selayaknya hujan yang menghardik matahari.
Kita adalah warna yang hilang, degup yang padam, jantung yang terlumat, nadi yang tersentak putus, dan jejak-jejak sepatu yang kian memberi jarak.
-RiZe-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar