“Tidak apa-apa.” Satu menit kemudian suara di dalam jiwanya berusaha menjawab sekuat tenaga tidak ingin terlihat lemah. Bunyinya terdengar ragu dan terasa masih ingin melanjutkan kalimat tersebut. Aku masih menunggu dengan memerhatikan wajahnya melalui bayangan yang tak kasat mata pada lembar kerja putih di hadapannya. Terlihat matanya sudah siap untuk menumpahkan luapan emosi yang ditahan-tahan beberapa waktu ini.
Lalu suasana hening, yang terdengar hanyalah suara ketikan dari jari tangan yang lincah menuliskan perasaan yang cukup sulit dideskripsikan. Hanya seonggok tubuh yang sedang berperang dengan dua pikirannya dalam kesunyian malam. Ku biarkan beberapa saat untuk menenangkannya.
“Kenapa?” Sekali lagi ku tanyakannya dengan lebih hati-hati. Ku perkirakan sudah lima menit semenjak hening menerpa kondisi kita berdua. Aku berharap kali ini menerima jawaban yang pasti. Senyap lagi. Aku mulai melihat tetesan air mata di pipi sambil terlihat menggigit bibirnya tanda tidak ingin terdengar isakannya.
“Kenapa?” Sekali lagi aku bertanya padanya. Ku perhatikan tangannya mengambil kerah baju dan mengusapkannya ke arah hidungnya. Cairan lain mulai meleler dari sana tanda benar-benar sedang dalam keadaan nestapa. Kulihat juga hidungnya jadi merah jambu. Mungkin tersipu padaku karena aku menaruh perhatian lebih atau karena reaksi pembuluh darah yang ditekan terlalu kuat oleh yang punya. Aku memilih pilihan pertama walaupun tidak bisa kupungkiri kenyataannya adalah pilihan kedua yang benar.
Kami masih saling diam. Sengaja, aku masih setia menunggu responnya. Masih betah mengamati tingkah lakunya kali ini. Aku bertanya-tanya apa gerangan yang membuatnya begitu terlihat tertekan. Sesekali kutinjau wajahnya lagi pada lembar kerja putih itu. Ku lihat deraian air matanya makin banyak. Aku jadi tidak tenang. Pun bingung cara menanyakannya lagi. Kami jadi sama-sama terlihat sedang gelisah. Ku kira dia sedang merasakan hal yang tidak bisa diceritakannya dan memilih memendamnya.
Aku menghargai pilihannya. Aku tidak bertanya lagi. Kami bungkam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku sibuk bertanya mengenai sebuah pertemuan yang didambakan Bolehkah Aku Meminta Berjumpa Berkali-kali? (1)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar