Hari itu aku senang sekali, aku merengek minta dibelikan sate saat ditanya mau makan apa. Pasalnya aku pengen makan sate itu sejak lebih dari satu bulan lalu. Tapi, belum kesampaian. Setauku, sate hanya buka malam hari, pun titip adikku, tak pernah sampai sate itu.
"Pengeen mamam sateee." ucapku manja, sambil memandangnya dengan penuh harap. Kami memang sedang bertemu sore itu, dan seperti biasa aku tak bisa menahan keinginan untuk meminta sesuatu dengan nada rengek yang kubuat-buat dengannya.
Ia hanya tersenyum tipis, seolah tak banyak bicara, lalu beranjak tanpa komentar panjang setelah aku menadapatkan jawaban Ikan akan menjadi makanannya sore itu. Aku menganggapnya setuju untuk membawakanku sate, walaupun harus dibeli di tempat yang berbeda dengan makanan kesukaannya.
Aku menatap layar ponsel beberapa kali, menunggu apakah ada kabar lanjutan tentang sateku. Dan benar saja, tak lama masuk sebuah pesan:
"Pakai nasi atau lontong?"
Aku pun minta dipilihkan, meski ia tetap memberi kesempatan menyesuaikan dengan keinginanku. Padahal bagiku, apa pun tak masalah. Lontong atau nasi, aku akan terima dengan senang hati. Yang terpenting adalah aku bisa makan sate, bukan dengan membelinya sendiri, melainkan ada yang membawakannya untukku. Ada rasa berbeda yang sulit kuceritakan—antara dimanja dan diperhatikan, antara canggung tapi manis.
Hampir satu jam aku menunggu, sampai akhirnya ia kembali dengan kantong plastik hitam di tangannya.
"Ini satenya," katanya singkat, lalu mengeluarkan juga ikan nila goreng kesukaannya. Aku menatapnya lekat-lekat, antara lega, bahagia, dan malu-malu. Ia sibuk menata makanan di meja, sedangkan aku masih saja merengek, kali ini agar ia yang membukakan bungkus sate.
Karetnya memang mudah dibuka, tapi aku bersikeras ingin ia yang melakukannya. Jadilah perdebatan kecil cukup tegang, aku tetap tak menyentuh sate iru sampai akhirnya memilih makan nasi dan ikan nila dulu dari piringnya. Perutku memang lapar, tapi hati kecilku masih menunggu: menunggu dibukakan sate itu olehnya.
Saat aku bangkit sebentar, mataku menangkap plastik putih di sudut meja. Aku penasaran, lalu kubuka perlahan. Ternyata isinya buah. Jeruk.
Aku terdiam. Jeruk itu datang begitu saja, tanpa kata, tanpa penjelasan. Hanya berpindah dari tangannya ke meja di hadapan kami. Sederhana, hening, tapi meninggalkan gema yang dalam.
Aku teringat, beberapa kali aku pernah berpesan, “tolong bawakan adek buah ya, yang segar, yang agak asem.” Kupikir hanya akan jadi permintaan lewat angin, tapi ternyata ia menyimpannya, lalu jadi lebih sering membawakannya dengan cara sesederhana itu: sebungkus jeruk segar di antara sate dan ikan nila.
Hari itu, jeruk-jeruk itu terasa lebih dari sekadar buah. Sepanjang hari aku jadi bersemangat. Besoknya, dua sudah kumakan habis, manis-asemnya masih menempel di lidahku, tinggal satu yang kusimpan baik-baik, seolah tak rela cepat menghabiskannya. Jeruk terakhir itu seperti pengingat, bahwa perhatian bisa hadir tanpa banyak bicara, bahkan tanpa perlu kata cinta.
Aku bersyukur. Karena lewat sate dan jeruk yang datang sore itu, aku tahu satu hal: aku diingat, aku diperhatikan, aku dicintai. Dan diam-diam, aku menyimpan satu harapan, semoga segera ada pertemuan lagi, agar bisa kuceritakan langsung betapa berharganya perhatian kecil itu bagiku.
Terima kasih yaaa...