Jumat, 12 September 2025

Tiga Buah Jeruk di Kantong Plastik Putih


Hari itu aku senang sekali, aku merengek minta dibelikan sate saat ditanya mau makan apa. Pasalnya aku pengen makan sate itu sejak lebih dari satu bulan lalu. Tapi, belum kesampaian. Setauku, sate hanya buka malam hari, pun titip adikku, tak pernah sampai sate itu.
"Pengeen mamam sateee." ucapku manja, sambil memandangnya dengan penuh harap. Kami memang sedang bertemu sore itu, dan seperti biasa aku tak bisa menahan keinginan untuk meminta sesuatu dengan nada rengek yang kubuat-buat dengannya. 

Ia hanya tersenyum tipis, seolah tak banyak bicara, lalu beranjak tanpa komentar panjang setelah aku menadapatkan jawaban Ikan akan menjadi makanannya sore itu. Aku menganggapnya setuju untuk membawakanku sate, walaupun harus dibeli di tempat yang berbeda dengan makanan kesukaannya. 
Aku menatap layar ponsel beberapa kali, menunggu apakah ada kabar lanjutan tentang sateku. Dan benar saja, tak lama masuk sebuah pesan:
"Pakai nasi atau lontong?"

Aku pun minta dipilihkan, meski ia tetap memberi kesempatan menyesuaikan dengan keinginanku. Padahal bagiku, apa pun tak masalah. Lontong atau nasi, aku akan terima dengan senang hati. Yang terpenting adalah aku bisa makan sate, bukan dengan membelinya sendiri, melainkan ada yang membawakannya untukku. Ada rasa berbeda yang sulit kuceritakan—antara dimanja dan diperhatikan, antara canggung tapi manis.

Hampir satu jam aku menunggu, sampai akhirnya ia kembali dengan kantong plastik hitam di tangannya.
"Ini satenya," katanya singkat, lalu mengeluarkan juga ikan nila goreng kesukaannya. Aku menatapnya lekat-lekat, antara lega, bahagia, dan malu-malu. Ia sibuk menata makanan di meja, sedangkan aku masih saja merengek, kali ini agar ia yang membukakan bungkus sate.

Karetnya memang mudah dibuka, tapi aku bersikeras ingin ia yang melakukannya. Jadilah perdebatan kecil cukup tegang, aku tetap tak menyentuh sate iru sampai akhirnya memilih makan nasi dan ikan nila dulu dari piringnya. Perutku memang lapar, tapi hati kecilku masih menunggu: menunggu dibukakan sate itu olehnya.

Saat aku bangkit sebentar, mataku menangkap plastik putih di sudut meja. Aku penasaran, lalu kubuka perlahan. Ternyata isinya buah. Jeruk.
Aku terdiam. Jeruk itu datang begitu saja, tanpa kata, tanpa penjelasan. Hanya berpindah dari tangannya ke meja di hadapan kami. Sederhana, hening, tapi meninggalkan gema yang dalam.

Aku teringat, beberapa kali aku pernah berpesan, “tolong bawakan adek buah ya, yang segar, yang agak asem.” Kupikir hanya akan jadi permintaan lewat angin, tapi ternyata ia menyimpannya, lalu jadi lebih sering membawakannya dengan cara sesederhana itu: sebungkus jeruk segar di antara sate dan ikan nila.

Hari itu, jeruk-jeruk itu terasa lebih dari sekadar buah. Sepanjang hari aku jadi bersemangat. Besoknya, dua sudah kumakan habis, manis-asemnya masih menempel di lidahku, tinggal satu yang kusimpan baik-baik, seolah tak rela cepat menghabiskannya. Jeruk terakhir itu seperti pengingat, bahwa perhatian bisa hadir tanpa banyak bicara, bahkan tanpa perlu kata cinta.

Aku bersyukur. Karena lewat sate dan jeruk yang datang sore itu, aku tahu satu hal: aku diingat, aku diperhatikan, aku dicintai. Dan diam-diam, aku menyimpan satu harapan, semoga segera ada pertemuan lagi, agar bisa kuceritakan langsung betapa berharganya perhatian kecil itu bagiku.

Terima kasih yaaa...

Jaket Kesayangaku

Jaket itu bukan sekadar kain. Ia saksi perjalanan yang menempel di kulit dan kenangan. Pernah robek saat tubuhku terjatuh di aspal, tapi justru di situlah aku belajar: sesuatu yang kita sayangi kadang harus rusak demi menjaga kita tetap utuh.

Di setiap perjalananku, jaket itu ada. Menemani pagi yang dingin, menutupi resah di sore yang panjang, hingga ikut mendengar diam-diam doa yang tak terucap. Ia sudah lebih dari sekadar pakaian—ia seperti sahabat yang tahu tanpa banyak bicara.

Kini, jaket itu tak lagi kupakai. Bukan karena hilang makna, tapi karena waktu membuatnya rapuh. Meski begitu, belum ada yang benar-benar bisa menggantikannya. Ada ruang kosong setiap kali aku mencoba mengenakan yang baru. Seperti hati yang masih mencari teduh di tempat lain, tapi tahu, ada satu tempat yang selalu istimewa.

Hari ini aku sedang rindu. Rindu pada jaket yang setia menemani langkah, rindu pada diriku yang dulu bersama jaket itu belajar arti bertahan. Mungkin ini hanya sebuah barang, tapi bagi hatiku, ia adalah cerita—cerita tentang kehilangan, perlindungan, dan kenangan yang tak bisa diulang.

Terima kasih, jaket kesayanganku. Sudah jadi teman setia dalam diam, sudah mengajarkanku arti sayang yang sederhana tapi tulus.

Minggu, 07 September 2025

Jamu di Dalam Botol Kaca

Di balik lemari yang dingin itu, tersimpan dua botol kecil berwarna kuning emas. Isinya bukan sekadar cairan, tapi jejak warisan yang tak pernah hilang: laos, jahe, kunyit, dan serai.
Rasanya pedas, getir, hangat… tapi bukankah hidup pun begitu? Kadang pahit di lidah, tapi justru menyembuhkan di tubuh.

Aku jadi ingat, dulu nenek selalu bilang: “Minumlah jamu, karena tubuhmu perlu dipeluk dari dalam.”
Dan benar saja—

Jahe menghangatkan perut, mengusir masuk angin.
Kunyit menenangkan peradangan, membuat tubuh terasa ringan.
Lengkuas menjaga pencernaan tetap bersahabat.
Serai meluruhkan lelah, membuat tidur lebih tenang.

Kini, dalam botol kaca yang sederhana itu, ada doa-doa nenek yang tak pernah benar-benar pergi. Ada cinta yang diracik dalam rebusan, lalu dibekukan oleh waktu, agar bisa kuminum di hari ini.

Kadang aku tersenyum sendiri. Jamu ini mengajarkanku: hal-hal sederhana bisa jadi penawar, selama kita mau berhenti sejenak dan menikmatinya.

Jeruk dan Rasa yang Tak Pernah Sama

Aku memegang sebuah jeruk di tanganku. Bulat, utuh, dengan kulit yang tampak mulus.
Dari luar, aku kira rasanya pasti manis. Tapi ketika dikupas, ada kalanya asam yang lebih mendominasi.

Lalu aku berpikir, bukankah hidup juga seperti jeruk?
Kadang tampak manis dari luar, tapi saat dirasakan, ada getirnya. Dan sebaliknya, ada yang tampak sederhana, tapi justru menyimpan manis yang tidak terduga.

Jeruk itu mengajarkanku tentang penerimaan.
Bahwa kita tidak bisa selalu memilih rasa yang datang dalam hidup. Ada saatnya manis, ada kalanya asam. Tapi keduanya tetap bermanfaat, tetap menyegarkan, tetap ciptaan Allah.

Seperti firman-Nya:
"Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" (QS. Ar-Rahman:13).

Ternyata, hidup tidak melulu soal mencari yang manis.
Tapi bagaimana kita belajar menemukan hikmah, bahkan dari rasa asam yang singgah.
Dan mungkin, seperti jeruk ini, aku juga sedang belajar: untuk tetap bersyukur pada setiap rasa yang Allah titipkan.

Donat dan Rasa Syukur

Aku tidak pernah benar-benar paham, kenapa donat selalu dibiarkan bolong di tengahnya.
Apakah agar mudah dipegang? Atau sekadar ciri khas?

Tapi hari ini, saat menatap donat di hadapanku, aku merasa lubang kosong itu berbicara.
Bahwa hidupku pun sama. Ada bagian yang tidak pernah penuh. Ada ruang yang sengaja Allah biarkan kosong—bukan untuk melemahkan, tapi agar aku selalu ingat kepada-Nya.

Donat itu tetap manis, meski ada yang hilang. Sama seperti hidupku. Aku masih bisa tersenyum, masih bisa tertawa, meski tidak memiliki segalanya.

Aku teringat firman Allah:
"Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)." (QS. Ar-Rahman: 60).

Mungkin lubang kosong di donat hanyalah cara Allah mengajarkanku untuk melihat manisnya nikmat di sekeliling.
Jangan terlalu sibuk menatap kosongnya, sampai lupa bahwa di sekelilingnya ada rasa yang membuat orang datang dan jatuh cinta.

Hidup tidak harus penuh untuk bisa indah.
Kadang, justru karena ada kekosongan, kita bisa belajar arti syukur yang sesungguhnya.

Sabtu, 06 September 2025

deserve to be understood



I fought for it countless times 
before I finally let go.

I tried to understand everything—
over and over—
even when it made no sense, 
until I could no longer hold on.

Perhaps, 
after all the struggles, 
my heart simply grew tired of waiting. 

Then one day, 
I woke up and realized 
that I, too, 
deserve to be understood, 
to be fought for, 
and to be loved.

Jumat, 22 Agustus 2025

beruntungnya bila kita punya pasangan yang tahu cara menurunkan nada

Di tengah bisingnya dunia, betapa beruntungnya bila kita punya pasangan yang tahu cara menurunkan nada. Ia akan menatap kita bukan sebagai wadah kosong yang harus diisi, melainkan sebagai manusia yang sedang tumbuh. Dari Paulo Freire, ia belajar bahwa mencintai bukanlah soal menguasai, tapi membebaskan. Dari The Little Prince, ia mengingatkan bahwa yang terpenting sering kali tak kasatmata, sesuatu yang tak bisa diukur dengan angka, tapi bisa dirasakan dengan hati.

Bayangkan, ketika hidup sedang terasa berat, tagihan menumpuk, pekerjaan bikin lelah, atau sekadar hari yang penuh masalah. Pasanganmu menatap dengan mata yang berbeda. Dari tatapannya seolah bisa merasakan pesan sederhana, bahwa penderitaan bukan akhir dari segalanya, tapi jalan untuk belajar dan memahami hidup. Pasangan yang suka membaca biasanya tahu cara melihat hidup dari sisi lain. Dia tahu waktu adalah teman yang membantu kita belajar sabar. Dia sadar bahwa tidak semua yang terlihat diam itu berarti berhenti, sama seperti tidak semua yang tampak ramai itu benar-benar maju.

Bersamanya, akan menyadari satu hal penting, hidup ini dibangun dari cerita-cerita. Ada cerita yang diwariskan orang tua, ada yang harus kita ubah, dan ada pula yang memang perlu kita lawan. Dari situ kita paham, mencintai bukan cuma soal jalan bergandengan tangan, tapi juga berani menulis ulang jalan hidup bersama.
Ketika kecewa datang, entah karena gagal, ditolak, atau sekadar merasa tak dihargai, dia tidak akan menutupinya dengan janji manis kosong. Dia akan jujur, karena dia tahu hidup memang tidak selalu mudah. Tapi, seperti yang pernah dia baca, hidup selalu memberi kesempatan untuk menemukan makna. Dan makna itu, sekecil apa pun, sering kali jadi alasan untuk bangun lagi esok hari dengan hati yang lebih kuat.

Pasangan yang suka membaca punya cara sendiri melihat dunia. Ia tahu hidup dibangun dari cerita-cerita,  ada yang diwarisi, ada yang diubah, ada pula yang harus dilawan. Dari One Hundred Years of Solitude, ia paham bahwa cinta maupun kesalahan bisa diwariskan. Bersamanya, kita akan sadar bahwa mencintai bukan sekadar menggenggam tangan, tapi juga berani menulis ulang takdir bersama. Ketika kekecewaan datang, ia tidak akan menutupinya dengan janji manis, melainkan dengan kejujuran. Seperti yang dipelajari dari Viktor Frankl dalam Man’s Search for Meaning, ia tahu hidup memang tidak menjanjikan mudah, tapi selalu memberi kesempatan untuk menemukan makna, dan kadang makna itulah yang membuat kuat untuk bangun esok hari.

Bersamanya, percakapan tidak pernah dipaksakan. Ia tahu kapan harus memberi jeda.. Ia mengerti bahwa cinta juga butuh tanda baca. Ketika kesedihan datang, ia tidak akan memintamu buru-buru bahagia, ia belajar bahwa luka bukan untuk dibuang, tapi untuk dirawat. Dan di saat hari-hari terasa kusut, ia percaya, jeda bukanlah kemalasan, melainkan cara menjaga jiwa.

Pelan-pelan, kita pun ikut membuka buku, bukan karena dipaksa, tapi karena ingin duduk di dunia yang ia cintai. Lalu kita sadar, percakapan jadi lebih kaya, tidak hanya tentang harga cabai atau gosip tetangga, tapi juga tentang gagasan, mimpi, dan pandangan yang membuat hidup terasa lebih luas. Dan disanalah letak indahnya, meski  hanya duduk berdua di ruang kecil, dunia seakan lebih lebar karena saling membuka pintu ke dalam pikiran masing-masing.

Bayangkan jika berdua sama-sama tidak suka membaca. Percakapan akan mengecil, berputar pada cuaca, harga, dan gosip yang cepat basi. Mungkin bisa menua bersama, tapi kehilangan cahaya rasa ingin tahu. Hidup pun berubah jadi pengulangan yang dangkal, seperti kaset lama yang terus diputar sampai pita aus. Bukan berarti pembaca buku lebih mulia daripada yang lain. Makna hidup bisa datang dari banyak pintu, baik perjalanan, percakapan, bahkan luka. 

Namun, buku memberi kedalaman yang berbeda, ruang hening untuk menyelam, kesempatan untuk mengenal diri dan dunia lebih jauh. Dan bila kita punya pasangan yang suka membaca, kita seakan memiliki jendela tambahan untuk melihat dunia. Sebab lewat buku, ia bukan hanya merawat pikirannya sendiri, tapi juga menyalakan cahaya dalam hubungan.

Kalau tidak suka membaca, setidaknya carilah pasangan yang suka membaca. Karena dari sana, akan belajar cara mencintai yang lebih luas, lebih dalam, dan lebih sabar. Cinta yang tidak hanya mengajakmu bertahan dalam riuhnya dunia, tapi juga menuntunmu menemukan makna di tengah bisingnya dunia.
---

#ceritainspirasi
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik. Sumber dari berdikaribook yang telah dikembangkan.