Sabtu, 07 Juni 2025

Aku Tidak Lagi Ingin Menjadi Apa-Apa, Aku Hanya Ingin Menjadi Diriku Sendiri

 



Dulu aku sibuk mengejar. Sibuk menyusun daftar tentang siapa aku harusnya, tentang apa yang harus kucapai, tentang siapa yang harus kubuktikan. Aku ingin jadi hebat, jadi pintar, jadi cukup untuk semua orang. Tapi ternyata, lelahnya bukan main. Jiwaku tenggelam dalam tuntutan yang bahkan bukan datang dari hatiku sendiri.

Aku pernah berdiri di tengah keramaian, tersenyum lebar tapi kosong. Ada tepuk tangan, tapi tak ada kedamaian. Ada keberhasilan, tapi tak ada pelukan. Ada aku, tapi seperti tak betul-betul hadir.

Hari ini, aku duduk diam. Membiarkan dunia berlari tanpa ikut berlari. Aku tidak lagi ingin menjadi apa-apa. Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri.

Aku ingin bangun tanpa takut gagal. Ingin bernapas tanpa perlu membuktikan. Ingin mencintai tanpa takut kehilangan. Ingin menulis, bukan untuk dikagumi, tapi untuk menyelamatkan hatiku sendiri yang kadang terlalu penuh.

Mereka bilang aku berubah. Tidak seambisi dulu, tidak semengkilap dulu. Tapi aku tahu, aku sedang kembali. Kembali menjadi seseorang yang tak takut lembut. Yang tak malu menangis. Yang memilih memaafkan, meski tak diminta.

Aku tahu, hidup ini bukan tentang siapa yang sampai duluan. Tapi tentang siapa yang tetap setia dengan hatinya, meski jalannya sepi, meski langkahnya pelan.

Dan hari ini, aku memilih menjadi itu. Menjadi aku—yang utuh, meski tidak sempurna. Yang jujur, meski tidak selalu dimengerti. Yang tenang, meski dunia meminta riuh.

Karena akhirnya, yang paling ingin kudengar adalah bisik hatiku sendiri:
"Terima kasih, ya. Sudah mau pulang."

Minggu, 18 Mei 2025

Dewasa Dalam Diam

Aku tidak pernah tahu pasti, sejak kapan diam jadi bahasa paling kuat yang bisa kurasakan.
Tapi ada satu sosok… yang membuat diam itu terasa dalam.
Bukan kosong, tapi penuh makna.

Tidak pernah sibuk menyusun kata untuk terlihat peduli. Menurutku juga tidak cukup pandai menunjukkan afeksi seperti orang-orang yang mudah berkata manis.
Tapi kalau sedang bersamanya, dunia rasanya lebih tenang. Lebih ringan.

Ada caranya membuatku merasa cukup, bahkan saat aku sedang penuh kekhawatiran.
Tidak memaksa untuk jadi penyelamat—tapi entah kenapa, kehadirannya menyelamatkan.
Tanpa banyak alasan, tanpa banyak janji.

Mungkin memang begini rasanya mengenal seseorang yang dewasa dalam diam.
Yang tidak butuh sorotan, tapi bisa jadi tempat berpulang yang tidak membuat kehilangan diri sendiri.

Dan diam-diam… aku belajar banyak darinya. Tentang menjadi tenang. Tentang memberi ruang. Tentang tidak selalu harus jadi yang terdengar, untuk bisa jadi yang paling terasa.

Terima kasih banyak sudah berjuang keras ya. 

tenang yang menenangkan

Aku selalu percaya, beberapa orang diciptakan bukan untuk tampil mencolok—tapi untuk jadi tenang yang menenangkan.
Yang kalau dia diam, bukan berarti tak peduli. Justru di diamnya itu, ada perhatian yang tak banyak dimiliki orang lain.

Ada cara dia memperhatikan tanpa membuatku merasa kecil.
Ada cara dia memberi arah, tanpa memaksakan jalan.
Ada cara dia hadir… tanpa perlu banyak alasan.

Lucu ya, ternyata sosok yang paling jarang bicara bisa jadi tempat paling nyaman untuk kembali.
Dan mungkin, itu yang disebut ‘dewasa dalam diam’.

Sabtu, 17 Mei 2025

Dalam Satu Pesan, Ada Cinta, Ada Terima Kasih, dan Ada Kesadaran


Aku tidak tahu apakah pesanku akan dibalas dengan hangat atau hanya dengan satu kata singkat. Tapi aku menulisnya dengan hati yang jernih, bukan karena ingin dikasihani, apalagi dituruti. Aku hanya ingin berbagi kabar dan meminta bantuan dengan cara yang lembut.

Aku bilang, “....., ..... adek yang terbaik. Terima kasih ya selalu berusaha dan bekerja keras.” Karena aku tahu, hidupnya tidak mudah. Dan kadang, cukup satu kalimat tulus bisa jadi penenang bagi yang sedang lelah. Mungkin dia lupa, mungkin dia tak sempat membalas panjang. Tapi tidak apa-apa. Tugasku hanya menyampaikan rasa, bukan mengendalikan balasan.

Aku juga menyampaikan rencanaku, tentang jadwal lab, tentang uji IC50, tentang fenol, dan tentang hari yang akan kujalani di Palembang. Aku tidak meminta dunia, aku meminta jiwa providernya yang selalu bijaksana itu. Tidak menuntut, hanya berharap, dalam nada yang tetap menjaga harga diriku.

Sebagai perempuan, aku belajar mencintai dengan tenang. Bukan berarti tanpa harap, tapi tanpa keterikatan pada hasil. Aku percaya, cinta yang tidak memberatkan itu ringan, tapi dalam. Dan permintaan yang disampaikan dengan hormat, bila ditolak sekalipun, tidak akan melukai.

Hari ini, aku mengingatkan diriku: cinta bukan soal dibalas sempurna, tapi tentang bagaimana kita bisa tetap penuh kasih bahkan saat tak digenggam. Karena hati yang dewasa adalah hati yang tidak memaksa, tapi tetap memberi ruang bagi cinta untuk tumbuh dengan bebas.

Jumat, 09 Mei 2025

I dream to be a kind partner

I dream to be a kind partner.

I dream to learn the healthy ways of communicating my feelings when we're speaking about our boundaries, when we're in the middle of an argument, and whenever we're in a conversation.

I dream to become the type of partner that lends you all my ears when you need someone to listen, all my gentle responses when you're having a bad day, and all my calm hugs when you need reassurance. 

I dream to become a present partner, especially on days when you need a support system or when you need someone to tell you that everything will eventually be okay.

I dream to be the one who gives a sweet compliment about a random thing about you, a firm validation about the things you are working yourself on, and a series of "I'm proud of you" as I see your personal growth.

I dream to be the one who will always be soft for you, who will surrender first in a petty fight, and who will always make it up for the shortcomings that I could do.

I dream to be a kind partner, and as you read this, please know that I am already trying to be one.

— Aaron Arciaga 

— Artwork : ggoruvi

Minggu, 04 Mei 2025

Di Balik Sunyi Malam

Bercerita kepada orang lain dengan vulgar bukan style-ku. Biasanya bercerita dengan menulis, dengan bebas tanpa feedback sebelum aku selesai menggerakkan jariku. Kadang juga masih dapat ku hapus kalau-kalau apa yang kutulis tak jadi ingin kuceritakan. Sebenarnya ingin bercerita langsung, tapi aku tak terbiasa bercerita begitu. Bukan karena tak ingin... tapi karena tak tahu harus kepada siapa, kadang masih ragu.  Semakin dewasa, jadi semakin belajar menyimpan semuanya sendiri—luka, lelah, bahkan tangis. Keseringan di siang hari tersenyum riang dan gembira. Menjawab semua pertanyaan dengan kepala tegak, seolah tak ada apa-apa. Tapi malam adalah ruang tempat aku melepaskan semuanya.

Mindeset sebagai anak perempuan pertama: aku tahu aku harus kuat. Harus tahan. Harus jadi tiang. Tak boleh terlihat rapuh, tak boleh terlihat butuh. Bahkan ketika segalanya terasa berat..." belum cukup hebat ku jalani. Perlu pandai-pandai membawa diri.

Sejak awal, sadar ini akan butuh perjuangan dan mungkin semuanya tidak mudah tapi bisa. Harus siap berbagai hal yang datang menghantam. Ya, ternyata aku masih suka menangis saja di malam-malam penuh ketenangan. Aku sudah sering kehilangan, beberapa kali sepeda motor lalu sudah tak terhitung kalau hanya handphone saja: tapi tidak sampai membuatku menangis begini: toh dunia semua ucapku waktu itu. Namun kehilangan kali ini membuatku terdiam cukup lama. Rasanya seperti dunia sedang bercanda, dan aku tak tahu harus tertawa atau menangis. 

Setelah kehilangan yang terakhirku itu, malamnya aku menangis dalam diam. Tak ada suara. Hanya sesekali napas tercekat yang menyelinap di sela-sela doa. Aku memohon agar ini menjadi kehilanganku yang terakhir. Agar aku tetap berfikir positif, akan ada hikmah dari setiap kejadian, akan bisa membuka pemahaman baru dan mendalam tentang kehidupan.

Kadang terfikir, aku... butuh bahu untuk segalanya, yang bisa kugenggam saat dunia terasa sempit, yang mengerti tanpa menghakimi. 

Izinkan aku menangis sebentar walaupun tidak berjanji untuk terakhir kalinya malam ini sambil menulis ini—rianglah besok pagi, pakailah sikapmu seperti biasa dan lanjutkan perang ini.

Selasa, 08 April 2025

Refleksi: Untukku yang Pernah Berharap


Aku pernah tersenyum karena satu pesan pendek.
Aku pernah merasa lengkap hanya karena dia membalas dengan candaan ringan.
Aku pernah diam-diam berharap,
bahwa ketikan manis itu adalah bentuk perhatian yang akan tumbuh menjadi kepastian.

Tapi hari ini, aku belajar sesuatu yang penting:
Perhatian bukan selalu pertanda.
Kedekatan tidak selalu arah menuju cinta.

Aku mulai sadar,
jika cara dia mengisi ruang dalam hidupku hanyalah sepotong-sepotong,
lalu pergi tanpa kejelasan,
itu bukan cinta, tapi kebiasaan.
Dan aku—wanita yang berharga ini—tidak diciptakan untuk dijadikan kebiasaan sesaat seseorang yang hanya datang ketika bosan.

Aku layak dicintai dengan sadar.
Bukan hanya diajak bercanda,
tapi juga diajak bicara serius.
Bukan hanya diajak ‘dekat,’
tapi juga diajak ‘menuju.’

Hari ini, aku menguatkan diriku:
Aku melepaskan keterikatan yang membuatku merasa kecil.
Aku ingin tumbuh, aku ingin tenang.
Dan kalau bukan dengannya,
aku percaya…
Tuhan sedang menyiapkan seseorang yang benar-benar mengerti caraku ingin dicintai.