Dalam dua minggu terakhir, ada beberapa teman baik yang memberitahukan kepadaku melalui Facebook dan Whatsapp mengenai konten medsos yang sedang viral yang menunjukkan berbagai jenis fashion dari bahan selulosa bakteri.
Secara sepintas memang terlihat keren, estetik, dan ramah lingkungan. Selain sebagai bahan fashion, ada juga sejumlah aktivis lingkungan global yang sedang euforia, yang menganggap selulosa bakteri sebagai bahan masa depan pengganti selulosa dari tumbuh-tumbuhan untuk memproduksi kertas atau karton.
Namun di balik itu semua, ada masalah besar dari sisi produksi massal dan dari sisi bisnisnya. Masalah yang nampaknya tidak akan bisa teratasi sampai kapanpun.
Selulosa adalah senyawa polimer organik alamiah yang jumlahnya paling melimpah di bumi. Aplikasinya ke dalam kehidupan sehari-hari benar-benar sangat luas. Mulai dari bahan perabotan rumah tangga, kertas buku, kardus boks, pakaian, hingga sebagai bahan komponen untuk industri trasportasi, elektronik dan medis.
Manfaatnya memang sangat luas, tetapi ianya menimbulkan masalah lingkungan yang serius berupa penembangan hutan, pembukaan lahan dan berbagai jenis limbah pencemar yang dihasilkan dari proses pengolahannya, terutama di pabrik-pabrik besar.
Jadi, sangat wajar bila para ilmuwan pemerhati lingkungan selalu berusaha mencari dan meneliti sumber-sumber bahan selulosa yang lebih aman bagi lingkungan hidup, untuk menggantikan selulosa yang berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti kayu-kayuan dan kapas. Salah satu alternatifnya adalah selulosa yang dihasilkan oleh beberapa jenis bakteri tertentu.
Dalam beberapa dekade terakhir sudah cukup banyak hasil penelitian-penelitian ilmiah yang dilakukan di berbagai negara yang menunjukkan bahwa selulosa dari bakteri memang bisa dijadikan sebagai bahan pakaian, tas, sepatu, kertas, dll., (konten yang sedang viral tersebut sebenarnya sudah ketinggalan). Tetapi pengaplikasiannya ke dalam kehidupan sehari-hari, sayangnya tidak realistis.
Kualitas selulosa bakteri lebih baik dari selulosa tumbuhan dari segi kemurniannya, dari sisi ukuran seratnya yang lebih halus hingga 100 kali dan dari kerapian struktur jalinan seratnya. Dari beberapa jenis bakteri selulosa, Acetobacter adalah bakteri yang paling dikenal karena produktivitasnya yang relatif sangat tinggi.
Saya sudah mengenal dan mempelajari selulosa bakteri sejak tahun 1998, waktu masih kuliah di Departemen Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara. Pada tahun 2012 saya memulai bisnis produksi dan pengolahan nata de coco, profesi yang masih saya tekuni hingga sekarang.
Yep, nata de coco adalah selulosa yang dihasilkan oleh bakteri selulosa melalui proses fermentasi air kelapa. Pada dasarnya, bakteri selulosa bisa menghasilkan selulosa dari berbagai jenis larutan yang mengandung gula, seperti larutan jus buah nenas (nata de pina), buah apel (nata de apel), dll. Media fermentasinya bisa juga dibuat dari air sisa pencucian beras dan dari air sisa pengolahan tahu.
Dari fermentasi 1,2 liter media air kelapa yang mengandung sekitar 30-50 gram gula, bisa diperoleh sebanyak 1 kg nata de coco basah. Komposisinya 99% cairan, dan 1% serat nata.Di kalangan para petani/produsen, harganya sekitar Rp.2.000. Dengan kata lain, harga 10 gram serat selulosa bakteri tanpa cairan (kering), harganya Rp.2.000. Berarti, nilai bahan baku mentah bakteri selulosa untuk sebuah kaos oblong seberat 100 gram, Rp.20.000.
Proses pencucian, penguraian, pengeringan serat hingga pengolahannya menjadi benang dan membentuknya menjadi kaos oblong, biayanya bisa mencapai 10.000/10 gram atau Rp. 100.000/kaos oblong. Total biaya produksi, Rp. 120 ribu. Ditambah sekitar Rp. 60 ribu untuk biaya pengemasan, marketing, perizinan, dll, hingga harga untuk end user bisa mencapai 180 ribu/kaos oblong.
Itu, bila kaosnya polos. Harganya bisa naik puluhan ribu lagi bila kaosnya lebih berat, ada proses pewarnaan, biaya desain, penyablonan dst. Padahal bila dibandingkan dengan kaos oblong dari selulosa tumbuhan, harganya hanya sekitar 50-100 ribu rupiah dengan kualitas yang tidak begitu berbeda.
Sumber bahan media fermentasi juga menjadi permasalahan tersendiri. Untuk satu kodi pakaian memerlukan 2400 liter air kelapa. Industri pakaian bisa memproduksi belasan hingga ratusan kodi/hari. Sementara itu, untuk mengumpulkan air kelapa tidaklah mudah.
Di pulau Jawa aja, air kelapa udah “habis” untuk keperluan industri makanan dan minuman. Oke, di pulau-pulau sentra kelapa, air kelapa memang banyak yang terbuang sia-sia, tetapi menimbulkan masalah transportasi dan distribusi. Mengapa hanya air kelapa yang saya bahas sebagai media fermentasinya? Karena hanya air kelapalah sumber bahan baku yang paling melimpah dan yang langsung bisa digunakan.
Apakah bakterinya bisa direkayasa secara genetik supaya menghasilkan selulosa yang lebih banyak? Mungkin bisa, tapi toh tetap dibatasi oleh banyaknya kandungan gula dalam media, karena "batu bata" selulosa adalah gula dan gula itu bahan baku yang relatif mahal.
Nah, begitulah inti permasalahan yang saya maksudkan. Secara prinsip, masalahnya sama untuk produk-produk lain. Dalam hal ini, keinginan untuk menggantikan selulosa tumbuhan dengan selulosa bakteri, sifatnya fatamorgana.
Apakah bisa membuat pakaian dari selulosa bakteri? Bisa. Apakah bisa diproduksi massal demi kepentingan bisnis? Tidak. Lain hal kalau fashion dari selulosa bakteri ini memang didesain dan diproduksi secara khusus utuk kalangan terbatas semacam marketing ala Dior dan Gucci.
Sepengematan saya selama ini, banyak sekali yang terjebak dengan ilusi selulosa bakteri sebagai pengganti selulosa tumbuhan untuk produk sehari-hari, baik dari kalangan akademisi maupun dari kalangan rakyat biasa, karena penjelasan tentang hal ini memang sangat langka.
Sampai sejauh ini, aplikasi selulosa bakteri yang paling realistis hanya sebagai sumber serat pangan yang baik bagi pencernaan (nata de coco), sebagai bahan pengantar zat aktif kosmetik dalam bentuk masker dan sebagai bahan-bahan untuk produk high-tech seperti membran headset dan layar gadget yang hanya diperlukan dalam jumlah yang relatif sangat sedikit.
Catatan tambahan. Dari hasil penelaahan saya terhadap informasi yang diberikan oleh start-up Malai-India, produknya adalah campuran selulosa bakteri dengan selulosa tumbuhan dan produknya belum final. Sedangkan start-up Nanollose-Australia, produknya mengarah kepada produk eksklusif dan sebagai bahan tambahan untuk produk dari perusahaan lain yang berbahan selulosa tumbuhan.
Saya sangat yakin bahwa kendala teknis yang sedang mereka hadapi, persis seperti yang sudah saya sampaikan dan tidak mungkin mereka ceritakan ke ruang publik secara terbuka. Dengan demikian, harapan mereka supaya bakteri selulosa bisa sebagai bahan fashion penyelamat lingkungan, nampaknya mustahil terwujud.
Sebagai penutup tulisan ini, saya cenderung lebih yakin bahwa material pengganti selulosa yang lebih aman, nantinya bisa diperoleh dari teknologi sintesis biokimiawi.
((Rahmad Agus Koto))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar